* PBNU: Indonesia jangan Hanya Menonton Tragedi Kemanusiaan Ini
BANDA ACEH - Tragedi pembantaian muslim Rohingya yang terus dipertontonkan oleh tentara Myanmar mendapat perhatian serius masyarakat Aceh. Aktivis mahasiswa yang tergabung dalam wadah
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh mengutuk bentuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya baik yang terjadi di dalam maupun di luar Myanmar.
Sejak sepekan terakhir, foto-foto korban pembantaian yang diyakini adalah etnis Rohingya menyebar di berbagai jejaring sosial termasuk di kalangan pengguna smartphone di Aceh. Gambar-gambar yang memperlihatkan tingkat kesadisan yang luar biasa memicu keprihatinan dan kesedihan mendalam masyarakat daerah ini yang dalam beberapa tahun terakhir memang akrab dengan sosok-sosok manusia perahu dari etnis Rohingya yang terdampar di Aceh.
Aktivis KAMMI Aceh dalam aksi keperihatinan untuk Rohingya yang digelar di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Minggu (29/7) secara tegas mengutuk aksi yang mereka sebut sebagai kekerasan yang dilakukan militer Myanmar terhadap muslim dari etnis Rohingya.
“KAMMI mengutuk bentuk genosida dan kejahatan kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya, baik yang terjadi di dalam maupun di luar Myanmar,” begitu salah satu butir pernyataan sikap KAMMI.
Secara nasional, pada 26 Juli 2012, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan pernyataan sikap terkait tragedi kemanusiaan atas muslim Rohingya di Myanmar. MUI menilai aksi-aksi kekerasan dan tindakan tidak beradab yang diderita oleh suku Rohingya di Myanmar adalah suatu tindakan kejahatan atas kemanusiaan.
“Upaya sengaja untuk merampas hak atas tanah, penolakan kewarganegaraan, pembantaian massal, pengusiran, pembakaran pelarangan pelaksanaan ibadah, penutupan jalur pasokan makanan, dan sejumlah tindakan brutal lainnya adalah sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM),” tandas Ketua Pelaksana Harian MUI, KH Ma’ruf Amin dalam pernyataan sikap yang dibacakan di Kantor MUI, Jakarta.
Menurut MUI, tindakan diskriminatif yang menimpa muslim Rohingya berlatar belakang agama. Ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Penganiayaan yang dilakukan dengan cara-cara militer kepada warga sipil harus segera dihentikan. “Seluruh bangsa-bangsa di dunia harus bertanggungjawab atas nasib dan masa depan suku Rohingya di Myanmar,” tulis pernyataan itu.
MUI juga menyesalkan sikap PBB yang tidak proaktif dalam mengatasi masalah pembantaian etnis terhadap kaum muslim Rohingya. Untuk itu MUI mendesak PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya untuk segera melakukan langkah kongkrit dalam mencegah berlanjutnya krisis kemanusiaan di Myanmar.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil inisiatif untuk menolong dan membantu etnis Rohingya yang makin memprihatinkan dari bahaya pembersihan etnis. Pembakaran perkampungan dan pengusiran mereka yang terjadi di Provinsi Rokhine, Myanmar, menurut PBNU merupakan aksi yang tidak bisa dibiarkan oleh dunia internasional.
Pernyataan itu dikemukakan Ketua PBNU, H Slamet Effendy Yusuf MSi pada wartawan di Jakarta, Minggu (29/7) dalam merespons tragedi kemanusiaan etnis Rohingya. “Pembiaran pembantaian terhadap etnik Rohingya seperti selama ini kita saksikan harus dihentikan. Apalagi, apa yang terjadi sekarang ini merupakan puncak perlakuan diskriminatif yang sudah lama berlangsung terhadap etnis Rohingya, yang beragama Islam,” katanya.
Indonesia sebagai negara yang dituakan di ASEAN yang juga negara muslim terbesar di dunia seharusnya mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah ini. “Jadi, sangat tidak elok jika pemerintah Indonesia hanya menjadi penonton dalam tragedi kemanusiaan ini,” tandas Slamet.
PBNU berharap organisasi konferensi Islam (OKI) memperhatikan tragedi kemanusiaan ini secara serius. “OKI harus melakukan langkah konkret untuk melindungi etnis Rohingya, agar tidak terus-menerus menjadi sasaran kebiadaban Junta Militer Myanmar. OKI juga harus mendesak PBB agar menjatuhkan sanksi tegas pada pemimpin Myanmar, misalnya mengajukan pengadilan ke dunia internasional atau Inter’ Criminal Court (ICC) dengan tuduhan sebagai upaya pembersihan etnis atau genoside etnis Rohingya, secara sistemtis,” demikian PBNU.(nas/ant/mir)
Bertahan Bisa Mati, Pergi Terlunta-lunta
ETNIS Rohingya sendiri adalah minoritas muslim yang tinggal di Myanmar Barat, berbatasan dengan Bangladesh. Tidak jelas asal-usul etnis Rohingya. Catatan sejarah mengatakan etnis ini belum ada pada tahun 1950. Namun ada pula yang berkata bahwa etnis Rohingya sudah ada sejak zaman penjajahan Inggris, 1824.
Etnis Rohingya bukan asli Burma (Myanmar). Secara perawakan, etnis ini lebih mirip orang Benglais (Asia Selatan), seperti India dan Pakistan ketimbang orang Burma yang lebih mirip Asia Tenggara.
Sungguh malang nasib etnis Rohingya. Di Burma ia menghadapi pilihan, antara berdiam namun dibunuh atau pergi namun terlunta-lunta. Sebab negara tetangga, seperti Bangladesh, juga tidak mau mengakui keberadaan mereka. Sementara hingga kini pembantaian itu terus berlanjut. Belum ada kejelasan, apakah yang terjadi di Mynmar itu adalah perang etnis atau perang agama?
Pembantaian terus meluas terhadap muslim Rohingya. Sementara mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung panji HAM dan demokrasi hanya bungkam menyaksikan kekejaman itu.
Radio Free Europe pada 12 Juli 2012 melaporkan helikopter Burma menyerang tiga kapal yang membawa hampir 50 muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan sektarian di barat Burma. Serangan itu diyakini telah membunuh semua orang di kapal.
Mengapa ada orang yang mengambil risiko fatal seperti itu? Pengungsi sedang berusaha untuk menghindari kematian, penyiksaan atau penangkapan di tangan mayoritas etnis Rakhine Buddha, yang memiliki dukungan penuh dari pemerintah Myanmar.
Tidak semua muslim di Myanmar dari kelompok etnis Rohingya. Beberapa dari mereka adalah keturunan imigran India, sementara yang lain adalah keturunan Cina, atau memiliki asal-usul Arab dan Persia. Myanmar adalah negara dengan jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 60 juta jiwa dan hanya 4 persen di antaranya muslim.
Terlepas dari angka, pelanggaran yang luas terus terjadi terhadap etnis Rohingnya. Mereka menghadapi beberapa kasus diskriminasi terburuk di dunia, tulis Reuters pada 4 Juli, mengutip kelompok hak asasi manusia. Equal Rights Trust yang berbasis di Inggris melaporkan bahwa kekerasan terbaru bukan hanya karena bentrokan etnis, tetapi sebenarnya melibatkan partisipasi aktif pemerintah.
Dari 16 Juni dan seterusnya, militer terlihat lebih aktif dalam melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap Rohingya, termasuk pembunuhan massal dan penangkapan di negara bagian Rakhine Utara.
Sydney Morning Herald pada 8 Juli melaporkan, satu kelompok pro-demokrasi di Twitter menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah pembohong, sementara pengguna media sosial lainnya mengatakan, “Kita harus membunuh semua Kalar”. Kalar adalah sebuah penghinaan rasis yang diterapkan pada orang berkulit gelap dari anak benua India.
Secara politis, Myanmar memiliki reputasi buruk. Sebuah perang saudara berkepanjangan telah melanda negara itu tak lama setelah kemerdekaan dari Inggris pada 1948.
Pemimpin oposisi dan ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi hanya menyatakan “keprihatinan” atas kekerasan etnis dan pembantaian terhadap warga berkulit gelap dan sepertinya tidak penting bagi partainya yang menguasai parlemen di Myanmar.
Sekjen Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Ekmeleddin Ihsanoglu meminta Suu Kyi untuk melakukan sesuatu. Dikatakannya, “Sebagai Penerima Nobel Perdamaian, kami yakin bahwa langkah pertama dari perjalanan Anda untuk memastikan perdamaian di dunia akan dimulai dari depan pintu rumah Anda sendiri dan bahwa Anda akan memainkan peran positif dalam mengakhiri kekerasan yang telah menderita Negara Arakan.”
Presiden Myanmar Thein Sein telah melakukan dosa besar, karena ia membuka wacana politik yang mendorong pembunuhan atau bahkan genosida. Dia mengatakan kepada PBB bahwa kamp pengungsi atau deportasi adalah solusi terhadap hampir satu juta muslim Rohingya. Thein Sein mengusulkan untuk mendeportasi etnis Rohingya jika ada negara ketiga yang siap menerima mereka.
Muslim Rohingya yang sedang menjalani salah satu episode paling keras dari sejarah mereka, adalah salah satu isu yang paling mendesak untuk dibahas di forum-forum internasional. Namun, penderitaan mereka senantiasa absen dari prioritas regional dan internasional. Sementara muslim Rohingya tanpa negara dan tidak berdaya terus menderita dan mati di dunia yang mendewakan HAM dan demokrasi.
Situs berita www.onislam.net melansir, PBB telah mengeluarkan pernyataan bahwa, etnis-Bengali Myanmar Muslim yang lebih dikenal sebagai Rohingya, sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia. Etnis ini menghadapi diskriminasi di tanah air mereka sendiri.
Situs berita berbasis di Inggris, independent.co.uk menulis, Rohingya telah tinggal di Burma selama berabad-abad. Tetapi pada tahun 1982, penguasa militer Ne Win melucuti kewarganegaraan etnis Rohingya, sehingga ribuan dari mereka harus melarikan diri ke Bangladesh dan tinggal di kamp-kamp yang menyedihkan.
Sejak amandemen terhadap undang-undang kewarganegaraan tahun 1982, Pemerintah Junta Militer Myanmar telah mengabaikan hak kewarganegaraan etnis Rohingya dan memperlakukan mereka sebagai imigran ilegal di rumah mereka sendiri.
Pemerintah Myanmar serta mayoritas Buddha menolak untuk mengakui pemakaian istilah “Rohingya”. Mereka menyebut etnis yang sudah tinggal berabad-abad di Negara Bagian Arakan ini sebagai “Bengali”.
Awal bulan ini, Presiden Burma Thein Sein mengatakan bahwa permasalahan Rohingya harus diselesaikan di negara ketiga. Pemerintah junta militer Myanmar juga menutup rapat akses media asing ke wilayah konflik, terutama setelah negara mengumumkan status gawat darurat pada bulan lalu. Sejauh ini sepuluh pekerja bantuan ditahan tanpa penjelasan dari pihak berwenang.(nas/nal/dari berbagai sumber)
Polisi Bubarkan Demo untuk Rohingya
BANDA ACEH - Puluhan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh, Minggu (29/7) pagi menggelar demo sebagai bentuk solidaritas bagi kaum muslim Rohingya yang baru-baru ini dibantai di negerinya oleh pemeluk agama mayoritas di negara itu. Namun, demo yang dilaksanakan di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh itu langsung dibubarkan polisi karena tidak memiliki izin.
Amatan Serambi, demo yang dimulai sekira pukul 10.00 WIB itu langsung dibubarkan polisi ketika seorang aktivis KAMMI Aceh baru saja berorasi.
Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Moffan MK SH melalui Wakasat Intelkam AKP Saiful Hadi SH langsung meminta para aktivis KAMMI itu untuk menghentikan demo dan segera membubarkan dari. Soalnya, kata Saiful Hadi, selain tidak mengantongi izin, aksi tersebut juga melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
“Kami cukup menghargai setiap ada kelompok atau organisasi massa yang ingin menyampaikan pendapatnya di muka umum. Tapi, semuanya tetap harus melalui mekanisme. Salah satunya ya harus mengantongi izin. Kalau tidak ada, terpaksa kami nyatakan aksi itu harus dibubarkan,” kata AKP Saiful.
Semestinya, kata Saiful, tiga hari sebelum menggelar aksi, salah seorang perwakilan massa tersebut sudah harus memasukkan izin STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan) ke bagian perizinan Intelkam Polresta Banda Aceh. “Tapi, hal itu tidak diindahkan. Bahkan sebelum kami meminta dibubarkan pada Sabtu (28/7) malam, kami sempat menyampaikan teguran agar aksi tidak dilaksanakan, karena tidak ada izin. Tapi karena pada kenyataannya mereka membandel, sehingga korlap dan Ketua Umum KAMMI Aceh, harus dimintai keterangannya,” kata Saiful Hadi.
Pantauan Serambi, sebelum aksi jalanan itu dibubarkan petugas kepolisian, sejumlah aktivis KAMMI minta agar mereka diizinkan membacakan pernyataan sikap.
Dalam kenyataannya, polisi memberi kelonggaran bagi mereka untuk membacakan penyataan sikap, tapi bukan di bundaran, melainkan di depan sebuah warung kopi di sekitar Bundaran Simpang Lima.
Koordinator aksi, Darlis Azis mengakui, aksi solidaritas untuk muslim Rohingya yang mereka gelar itu memang tidak mendapat izin dari kepolisian setempat. Tapi, menurutnya, aksi tersebut merupakan wujud kepedulian dan spontanitas mereka, mengingat intensitas kekerasan terhadap etnis minoritas muslim yang mendiami Provinsi Arakan, Myanmar, terus meningkat. “Tidak ada niat kami mengangkangi aturan yang ada. Tapi ini terjadi spontan,” kata Darlis kepada Serambi.
KAMMI Aceh, menurut Darlis, menaruh keprihatinan mendalam terhadap muslim dari etnis Rohingya yang terus mengalami kekerasan dan penindasan di Burma.
Bahkan, menurut Darlis, etnis Rohingya mulai 1940-an terus mengalami penindasan, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, pemiskinan, dan diskriminasi baik dari negara, pemerintah serta sesama penduduk yang beda etnis dan agama di sana.
Bahkan banyak etnis Rohingya yang tidak diakui kewarganegaraanya di Myanmar. “Ini yang memicu keprihatinan mendalam bagi kita semua umat muslim dan secara spontanitas KAMMI Aceh ikut melakukan aksi untuk mengutuk kekerasan yang dilakukan pemeluk agama non-Islam maupun junta militer Myanmar terhadap muslim dari etnis Rohingya,” pungkas Darlis. (mir)
BANDA ACEH - Tragedi pembantaian muslim Rohingya yang terus dipertontonkan oleh tentara Myanmar mendapat perhatian serius masyarakat Aceh. Aktivis mahasiswa yang tergabung dalam wadah
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh mengutuk bentuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya baik yang terjadi di dalam maupun di luar Myanmar.
Sejak sepekan terakhir, foto-foto korban pembantaian yang diyakini adalah etnis Rohingya menyebar di berbagai jejaring sosial termasuk di kalangan pengguna smartphone di Aceh. Gambar-gambar yang memperlihatkan tingkat kesadisan yang luar biasa memicu keprihatinan dan kesedihan mendalam masyarakat daerah ini yang dalam beberapa tahun terakhir memang akrab dengan sosok-sosok manusia perahu dari etnis Rohingya yang terdampar di Aceh.
Aktivis KAMMI Aceh dalam aksi keperihatinan untuk Rohingya yang digelar di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Minggu (29/7) secara tegas mengutuk aksi yang mereka sebut sebagai kekerasan yang dilakukan militer Myanmar terhadap muslim dari etnis Rohingya.
“KAMMI mengutuk bentuk genosida dan kejahatan kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya, baik yang terjadi di dalam maupun di luar Myanmar,” begitu salah satu butir pernyataan sikap KAMMI.
Secara nasional, pada 26 Juli 2012, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan pernyataan sikap terkait tragedi kemanusiaan atas muslim Rohingya di Myanmar. MUI menilai aksi-aksi kekerasan dan tindakan tidak beradab yang diderita oleh suku Rohingya di Myanmar adalah suatu tindakan kejahatan atas kemanusiaan.
“Upaya sengaja untuk merampas hak atas tanah, penolakan kewarganegaraan, pembantaian massal, pengusiran, pembakaran pelarangan pelaksanaan ibadah, penutupan jalur pasokan makanan, dan sejumlah tindakan brutal lainnya adalah sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM),” tandas Ketua Pelaksana Harian MUI, KH Ma’ruf Amin dalam pernyataan sikap yang dibacakan di Kantor MUI, Jakarta.
Menurut MUI, tindakan diskriminatif yang menimpa muslim Rohingya berlatar belakang agama. Ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Penganiayaan yang dilakukan dengan cara-cara militer kepada warga sipil harus segera dihentikan. “Seluruh bangsa-bangsa di dunia harus bertanggungjawab atas nasib dan masa depan suku Rohingya di Myanmar,” tulis pernyataan itu.
MUI juga menyesalkan sikap PBB yang tidak proaktif dalam mengatasi masalah pembantaian etnis terhadap kaum muslim Rohingya. Untuk itu MUI mendesak PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya untuk segera melakukan langkah kongkrit dalam mencegah berlanjutnya krisis kemanusiaan di Myanmar.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil inisiatif untuk menolong dan membantu etnis Rohingya yang makin memprihatinkan dari bahaya pembersihan etnis. Pembakaran perkampungan dan pengusiran mereka yang terjadi di Provinsi Rokhine, Myanmar, menurut PBNU merupakan aksi yang tidak bisa dibiarkan oleh dunia internasional.
Pernyataan itu dikemukakan Ketua PBNU, H Slamet Effendy Yusuf MSi pada wartawan di Jakarta, Minggu (29/7) dalam merespons tragedi kemanusiaan etnis Rohingya. “Pembiaran pembantaian terhadap etnik Rohingya seperti selama ini kita saksikan harus dihentikan. Apalagi, apa yang terjadi sekarang ini merupakan puncak perlakuan diskriminatif yang sudah lama berlangsung terhadap etnis Rohingya, yang beragama Islam,” katanya.
Indonesia sebagai negara yang dituakan di ASEAN yang juga negara muslim terbesar di dunia seharusnya mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah ini. “Jadi, sangat tidak elok jika pemerintah Indonesia hanya menjadi penonton dalam tragedi kemanusiaan ini,” tandas Slamet.
PBNU berharap organisasi konferensi Islam (OKI) memperhatikan tragedi kemanusiaan ini secara serius. “OKI harus melakukan langkah konkret untuk melindungi etnis Rohingya, agar tidak terus-menerus menjadi sasaran kebiadaban Junta Militer Myanmar. OKI juga harus mendesak PBB agar menjatuhkan sanksi tegas pada pemimpin Myanmar, misalnya mengajukan pengadilan ke dunia internasional atau Inter’ Criminal Court (ICC) dengan tuduhan sebagai upaya pembersihan etnis atau genoside etnis Rohingya, secara sistemtis,” demikian PBNU.(nas/ant/mir)
Bertahan Bisa Mati, Pergi Terlunta-lunta
ETNIS Rohingya sendiri adalah minoritas muslim yang tinggal di Myanmar Barat, berbatasan dengan Bangladesh. Tidak jelas asal-usul etnis Rohingya. Catatan sejarah mengatakan etnis ini belum ada pada tahun 1950. Namun ada pula yang berkata bahwa etnis Rohingya sudah ada sejak zaman penjajahan Inggris, 1824.
Etnis Rohingya bukan asli Burma (Myanmar). Secara perawakan, etnis ini lebih mirip orang Benglais (Asia Selatan), seperti India dan Pakistan ketimbang orang Burma yang lebih mirip Asia Tenggara.
Sungguh malang nasib etnis Rohingya. Di Burma ia menghadapi pilihan, antara berdiam namun dibunuh atau pergi namun terlunta-lunta. Sebab negara tetangga, seperti Bangladesh, juga tidak mau mengakui keberadaan mereka. Sementara hingga kini pembantaian itu terus berlanjut. Belum ada kejelasan, apakah yang terjadi di Mynmar itu adalah perang etnis atau perang agama?
Pembantaian terus meluas terhadap muslim Rohingya. Sementara mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung panji HAM dan demokrasi hanya bungkam menyaksikan kekejaman itu.
Radio Free Europe pada 12 Juli 2012 melaporkan helikopter Burma menyerang tiga kapal yang membawa hampir 50 muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan sektarian di barat Burma. Serangan itu diyakini telah membunuh semua orang di kapal.
Mengapa ada orang yang mengambil risiko fatal seperti itu? Pengungsi sedang berusaha untuk menghindari kematian, penyiksaan atau penangkapan di tangan mayoritas etnis Rakhine Buddha, yang memiliki dukungan penuh dari pemerintah Myanmar.
Tidak semua muslim di Myanmar dari kelompok etnis Rohingya. Beberapa dari mereka adalah keturunan imigran India, sementara yang lain adalah keturunan Cina, atau memiliki asal-usul Arab dan Persia. Myanmar adalah negara dengan jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 60 juta jiwa dan hanya 4 persen di antaranya muslim.
Terlepas dari angka, pelanggaran yang luas terus terjadi terhadap etnis Rohingnya. Mereka menghadapi beberapa kasus diskriminasi terburuk di dunia, tulis Reuters pada 4 Juli, mengutip kelompok hak asasi manusia. Equal Rights Trust yang berbasis di Inggris melaporkan bahwa kekerasan terbaru bukan hanya karena bentrokan etnis, tetapi sebenarnya melibatkan partisipasi aktif pemerintah.
Dari 16 Juni dan seterusnya, militer terlihat lebih aktif dalam melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap Rohingya, termasuk pembunuhan massal dan penangkapan di negara bagian Rakhine Utara.
Sydney Morning Herald pada 8 Juli melaporkan, satu kelompok pro-demokrasi di Twitter menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah pembohong, sementara pengguna media sosial lainnya mengatakan, “Kita harus membunuh semua Kalar”. Kalar adalah sebuah penghinaan rasis yang diterapkan pada orang berkulit gelap dari anak benua India.
Secara politis, Myanmar memiliki reputasi buruk. Sebuah perang saudara berkepanjangan telah melanda negara itu tak lama setelah kemerdekaan dari Inggris pada 1948.
Pemimpin oposisi dan ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi hanya menyatakan “keprihatinan” atas kekerasan etnis dan pembantaian terhadap warga berkulit gelap dan sepertinya tidak penting bagi partainya yang menguasai parlemen di Myanmar.
Sekjen Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Ekmeleddin Ihsanoglu meminta Suu Kyi untuk melakukan sesuatu. Dikatakannya, “Sebagai Penerima Nobel Perdamaian, kami yakin bahwa langkah pertama dari perjalanan Anda untuk memastikan perdamaian di dunia akan dimulai dari depan pintu rumah Anda sendiri dan bahwa Anda akan memainkan peran positif dalam mengakhiri kekerasan yang telah menderita Negara Arakan.”
Presiden Myanmar Thein Sein telah melakukan dosa besar, karena ia membuka wacana politik yang mendorong pembunuhan atau bahkan genosida. Dia mengatakan kepada PBB bahwa kamp pengungsi atau deportasi adalah solusi terhadap hampir satu juta muslim Rohingya. Thein Sein mengusulkan untuk mendeportasi etnis Rohingya jika ada negara ketiga yang siap menerima mereka.
Muslim Rohingya yang sedang menjalani salah satu episode paling keras dari sejarah mereka, adalah salah satu isu yang paling mendesak untuk dibahas di forum-forum internasional. Namun, penderitaan mereka senantiasa absen dari prioritas regional dan internasional. Sementara muslim Rohingya tanpa negara dan tidak berdaya terus menderita dan mati di dunia yang mendewakan HAM dan demokrasi.
Situs berita www.onislam.net melansir, PBB telah mengeluarkan pernyataan bahwa, etnis-Bengali Myanmar Muslim yang lebih dikenal sebagai Rohingya, sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia. Etnis ini menghadapi diskriminasi di tanah air mereka sendiri.
Situs berita berbasis di Inggris, independent.co.uk menulis, Rohingya telah tinggal di Burma selama berabad-abad. Tetapi pada tahun 1982, penguasa militer Ne Win melucuti kewarganegaraan etnis Rohingya, sehingga ribuan dari mereka harus melarikan diri ke Bangladesh dan tinggal di kamp-kamp yang menyedihkan.
Sejak amandemen terhadap undang-undang kewarganegaraan tahun 1982, Pemerintah Junta Militer Myanmar telah mengabaikan hak kewarganegaraan etnis Rohingya dan memperlakukan mereka sebagai imigran ilegal di rumah mereka sendiri.
Pemerintah Myanmar serta mayoritas Buddha menolak untuk mengakui pemakaian istilah “Rohingya”. Mereka menyebut etnis yang sudah tinggal berabad-abad di Negara Bagian Arakan ini sebagai “Bengali”.
Awal bulan ini, Presiden Burma Thein Sein mengatakan bahwa permasalahan Rohingya harus diselesaikan di negara ketiga. Pemerintah junta militer Myanmar juga menutup rapat akses media asing ke wilayah konflik, terutama setelah negara mengumumkan status gawat darurat pada bulan lalu. Sejauh ini sepuluh pekerja bantuan ditahan tanpa penjelasan dari pihak berwenang.(nas/nal/dari berbagai sumber)
Polisi Bubarkan Demo untuk Rohingya
BANDA ACEH - Puluhan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh, Minggu (29/7) pagi menggelar demo sebagai bentuk solidaritas bagi kaum muslim Rohingya yang baru-baru ini dibantai di negerinya oleh pemeluk agama mayoritas di negara itu. Namun, demo yang dilaksanakan di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh itu langsung dibubarkan polisi karena tidak memiliki izin.
Amatan Serambi, demo yang dimulai sekira pukul 10.00 WIB itu langsung dibubarkan polisi ketika seorang aktivis KAMMI Aceh baru saja berorasi.
Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Moffan MK SH melalui Wakasat Intelkam AKP Saiful Hadi SH langsung meminta para aktivis KAMMI itu untuk menghentikan demo dan segera membubarkan dari. Soalnya, kata Saiful Hadi, selain tidak mengantongi izin, aksi tersebut juga melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
“Kami cukup menghargai setiap ada kelompok atau organisasi massa yang ingin menyampaikan pendapatnya di muka umum. Tapi, semuanya tetap harus melalui mekanisme. Salah satunya ya harus mengantongi izin. Kalau tidak ada, terpaksa kami nyatakan aksi itu harus dibubarkan,” kata AKP Saiful.
Semestinya, kata Saiful, tiga hari sebelum menggelar aksi, salah seorang perwakilan massa tersebut sudah harus memasukkan izin STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan) ke bagian perizinan Intelkam Polresta Banda Aceh. “Tapi, hal itu tidak diindahkan. Bahkan sebelum kami meminta dibubarkan pada Sabtu (28/7) malam, kami sempat menyampaikan teguran agar aksi tidak dilaksanakan, karena tidak ada izin. Tapi karena pada kenyataannya mereka membandel, sehingga korlap dan Ketua Umum KAMMI Aceh, harus dimintai keterangannya,” kata Saiful Hadi.
Pantauan Serambi, sebelum aksi jalanan itu dibubarkan petugas kepolisian, sejumlah aktivis KAMMI minta agar mereka diizinkan membacakan pernyataan sikap.
Dalam kenyataannya, polisi memberi kelonggaran bagi mereka untuk membacakan penyataan sikap, tapi bukan di bundaran, melainkan di depan sebuah warung kopi di sekitar Bundaran Simpang Lima.
Koordinator aksi, Darlis Azis mengakui, aksi solidaritas untuk muslim Rohingya yang mereka gelar itu memang tidak mendapat izin dari kepolisian setempat. Tapi, menurutnya, aksi tersebut merupakan wujud kepedulian dan spontanitas mereka, mengingat intensitas kekerasan terhadap etnis minoritas muslim yang mendiami Provinsi Arakan, Myanmar, terus meningkat. “Tidak ada niat kami mengangkangi aturan yang ada. Tapi ini terjadi spontan,” kata Darlis kepada Serambi.
KAMMI Aceh, menurut Darlis, menaruh keprihatinan mendalam terhadap muslim dari etnis Rohingya yang terus mengalami kekerasan dan penindasan di Burma.
Bahkan, menurut Darlis, etnis Rohingya mulai 1940-an terus mengalami penindasan, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, pemiskinan, dan diskriminasi baik dari negara, pemerintah serta sesama penduduk yang beda etnis dan agama di sana.
Bahkan banyak etnis Rohingya yang tidak diakui kewarganegaraanya di Myanmar. “Ini yang memicu keprihatinan mendalam bagi kita semua umat muslim dan secara spontanitas KAMMI Aceh ikut melakukan aksi untuk mengutuk kekerasan yang dilakukan pemeluk agama non-Islam maupun junta militer Myanmar terhadap muslim dari etnis Rohingya,” pungkas Darlis. (mir)
Editor : bakri
aceh.tribunnews.com
aceh.tribunnews.com
0 comments:
Post a Comment
komentar anda...