Di Sri Lanka September lalu, sekelompok massa Sinhala dipimpin oleh sekitar 100 Bikshu Buddha menghancurkan sebuah masjid milik Muslim di kota kuno Anuradhapura. Sekelompok massa Bikshu Budha dengan melambai warna merah emas, dan seorang Bikshu menyerukan bendera hijau Islam harus dimusnahkan dan dibakar.
Para Bikshu mengklaim bahwa kuil itu berada di lahan yang telah diberikan kepada kelompok Sinhala 2.000 tahun yang lalu. Dengan referensi itu, mereka mengklaim terhadap hak milik mereka atas seluruh pulau Srilanka, seperti tertulis dalam teks-teks keagamaan kuno. Karena itu, tak ada yang berhak berdiam atau menghuni di tanah Sri Lanka, selain kelompok Sinhala.Serangan Anuradhapura bukan hanya merupakan insiden terakhir yang dilakukan oleh kelompok umat Buddha terhadap Muslim di Sri Lanka. Pada bulan April, para Bikshu memimpin hampir 2.000 umat Buddha Sinhala melakukan pawai di depan masjid di Dambulla, sebuah kota suci di mana raja Sinhala diyakini telah berlindung dari penjajah India. Serangan kelompok Sinhala itu, menandai "hari bersejarah," kata seorang Bikshu yang memimpin serangan yang massal itu, dan dipercaya sebagai, "Kemenangan bagi mereka yang mencintai ras Sinhala, memiliki darah Sinhala, dan Buddha."
Chauvinisme yang begitu dalam dan menjadi sangat anti terhadap semua golongan di luar Budha itu, bertentangan dengan prasangka Barat, bahwa agama Buddha - sebuah agama yang menekankan antikekerasan, tetapi ini sesuai dengan sejarah agama Sri Lanka. Justeru Budha menjadi inti gerakan dari kekerasan yang begitu dahsyat di Srilanka.
Buddhisme militan ada berakar pada sebuah narasi kuno yang disebut Mahavamsa, yang disusun oleh para pencetus Agama Budha, di abad keenam. Menurut Mahavamsa, Sang Buddha meramalkan runtuhnya agama Buddha di India, tetapi melihat masa depan yang cerah di Sri Lanka. "Dalam Lanka,Tuhan Dewa, di mana agama saya dibentuk dan berkembang," katanya.
Sinhala mengambil ini sebagai tanda bahwa mereka adalah orang-orang Buddha yang dipilih, diperintahkan "melestarikan dan melindungi" agama Buddha dalam bentuk yang paling murni.
Menurut mitos, seorang pangeran muda Sinhala di abad kedua SM mempersenjatai diri dengan tombak berujung dengan sebuah peninggalan Buddha dan memimpin 500 Bikshu untuk mengalahkan penjajah Tamil. Selain membela kerajaannya dari bahaya kehancuran, kemenangan sang pangeran melegitimasi kekerasan agama sebagai alat kelangsungan hidup mereka secara nasional. Karena itu, sekarang di mana-mana dengan ajaran itu, kelompok Budha bertindak dengan sangat brutal dan biadab. Termasuk yang terjadi di Myanmar, menghabisi Muslim, yang tidak memiliki kesalahan apapun, kecuali mereka beragama Islam.
Buddhisme militan adalah kekuatan yang mendorong perang selama 25 tahun antara mayoritas Sinhala (74 persen dari populasi) dan minoritas Tamil (18 persen), yang berjuang untuk negara merdeka di pulau utara dan timur. Muslim yang berjumlah enam persen dari penduduk Sri Lanka, sering terjebak di tengah konflik antara Sinhala dan Tamil. Selama perang, para Bhikshu berulang kali mengkhianati perjanjian damai kelompok Tamil. Tamil sekarang sudah tingggal kenanganan, berhasil dihancurkan oleh kelompok Sinhala yang mayoritas Budha di Srilanka.
Sangha, sebagai ulama secara kolektif sebagaimana dimaksud dalam Buddhisme Theravada, secara historis memegang kekuasaan politik dari balik layar, dan mewujudkan bentuk yang luas yang disebut dengan nasionalisme religius. Namun dalam tahun-tahun terakhir perang, menjadi lebih terang-terangan dipolitisir.
Pada tahun 2004, kelompok garis keras National Heritage Party (dikenal sebagai JHU) terpilih tujuh anggotanya ke Parlemen. Semuanya Bikshu, dan pesta kemenangan berjalan dengan sangat meriah. Mereka memiliki platform yang menyerukan kembali ke moralitas Buddhis dalam kehidupan publik. Segera setelah duduk, JHU melancarkan perkelahian di lantai Parlemen dengan kelompok yang menjadi lawan politiknya.
Salah satu pemimpin Bikshu, Athuraliye Rathana, oleh Media Sri Lanka dijuluki sebagai Bikshu Perang, berpendapat. "Jika mereka menyerahkan senjata mereka, maka kita bisa bicara," katanya. "Jika tidak, maka kita akan mengendalikan mereka dengan cara apapun yang diperlukan. Kita harus berjuang sekarang dengan tetesan darah, dan baru bicara nanti..", ujarnya. Bahasa perang terus dikumandangkan oleh para Bikshu.
Pertumpahan darah terus berlarut, sebagian besar pendeta Budha memberi berkat untuk sebuah serangan terakhir pada separatis Macan Tamil. Pada bulan Mei tahun 2009, militer Sri Lanka yang muncul dari pertempuran penuh kemenangan. Tapi serangan brutal terhadap Macan Tamil membuat pemerintah Presiden Mahinda Rajapaksa itu sasaran kecaman internasional yang luas.
Perkiraan warga sipil yang tewas mencapai 40.000 penduduk Tamil, dan menurut Channel Four Inggris mendokumentasikan eksekusi tahanan Macan Tamil dalam program "Sri Lanka Killing Fields."
Meskipun organisasi hak asasi manusia, termasuk Amnesti Internasional dan Dewan HAM PBB, menyerukan penyelidikan pelanggaran kemanusiaan dan kejahatan perang, tetapi pemerintah Rajapakse telah menolak. Para Bikshu endukung sikap keras kepala ini, mengatakan bahwa tuntutan itu sebagai bentuk tindakan menyerang Sinhala, dan serangan terhadap kelompok Buddha yang menjadi "ibu pertiwi."
Pantas kalau di Myanmar pasukan pemerintah ikut bertempur dan menghancurkan Muslim Rohingya. Hal ini, seperti yang terjadi di Srilanka, di mana kelompok Sinhala (Budha) menghancurkan kelompok Tamil (Hindu) dengan segala kekejaman dan kebiadabannya. mh/fa.
voa-islam.com
0 comments:
Post a Comment
komentar anda...