Perjalanan sejarah Serambi Mekah diliputi sejumlah kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan. Mampukah musibah tsunami dijadikan momentum untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan secara signifikan?
Oleh Sofyan Munawar Asgart (*
Sejarah kekerasan di Aceh telah
dimulai sejak masa kolonial. Juanda, aktivis People Crisis Center (PCC)
yang juga Key Informan Aceh untuk Riset Demos, melukiskan bahwa upaya
kolonialisasi yang dilakukan Portugis dan Belanda telah memaksa rakyat
Aceh mengacungkan senjata. Puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun
Belanda dengan gigih melakukan berbagai upaya untuk menaklukkan Aceh
secara intensif dan ofensif.
Namun
selama itu pula serdadu Belanda frustasi menyaksikan kobaran api jihad
rakyat Aceh yang terus bergelora. Nama-nama besar yang tertoreh dalam
sejarah seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, dan
pahlawan nasional dari Aceh lainnya telah menunjukkan pada dunia bahwa
Aceh merupakan “bumi patriot” yang tak bisa dipaksa dan diperkosa dengan
kekuatan senjata.
Sayangnya,
catatan sejarah tersebut tidak dijadikan pelajaran berharga oleh para
penghulu negeri ini untuk memahami Aceh secara bijaksana. Pasca
kemerdekaan Indonesia, Aceh justru tenggelam dalam tipuan
berkepanjangan.
Pada tanggal 17 Juni 1945, Bung
Karno pernah berpidato di lapangan Blang Padang, Kutaraja (Banda Aceh).
Ketika itu, Soekarno mengakui Aceh sebagai modal utama bagi perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejarah pun mencatat Aceh berperan dalam
kepemilikan pesawat terbang pertama Indonesia, Dakota. Karena itu,
Soekarno menjanjikan status “daerah istimewa” jika kelak Indonesia
merdeka.
Namun semenjak kemerdekaan
Indonesia dideklarasikan 17 Agustus 1945 hingga rezim Soekarno berakhir,
“keistimewaan” Aceh tak pernah secara serius diberikan. Paling tidak,
diundangkan seperti Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta. Inilah tipuan pertama yang dilakukan Orde Lama yang
sekaligus menjadi inspirasi awal lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
sebagai wujud ketidakpuasan rakyat Aceh.
Rezim Orde Baru kemudian
menyempurnakan tipuan itu dengan cara yang lebih memuakkan. Dengan
berbagai kebijakannya yang sentralistik, Aceh tak ubahnya sebagai sapi
perahan. Bagaimana mungkin, LNG Arun sebagai sumber gas alam terbesar
kedua dunia setelah Qatar tak mampu memberi kesejahteraan bagi penduduk
sekitar. Sebagai daerah penyumbang ekspor terbesar setelah Riau dan
Kaltim, Aceh hanya mendapatkan tetesan subsidi pembangunan alakadarnya.
Ketidakpuasan ini yang kemudian menyuburkan semangat perlawanan bak
jamur di musim hujan. GAM pun menjelma menjadi kekuatan yang kian
militan. Sementara rakyat kebanyakan berada di simpang jalan kebimbangan
yang akhirnya justru menjadi korban.
Semenjak dilakukan Operasi
Jaring Merah, PRRM, dan terutama pasca dilembagakannya Daerah Operasi
Militer (DOM) selama sembilan tahun (1989-1998), ratusan ribu warga Aceh
telah terbunuh. Akibatnya, bumi Serambi Mekah bersimbah darah,
tenggelam dalam nestapa berkepanjangan. Dalam situasi kelam seperti itu,
Aceh hampir tak menyisakan sedikit pun “lahan perdamaian” yang aman.
Sementara kecurigaan dan rasa permusuhan seakan tak pernah musnah akibat
intrik-intrik dan liciknya mesin politik yang sentralistik. Tepatlah
ungkapan budayawan Taufik Ismail: “Di negeri ini telah terjadi kekejaman
tidak masuk akal, dalam sandiwara politik yang luar biasa keji.” Aceh
adalah tragedi !
Perubahan politik setelah
tumbangnya rezim Soeharto membersitkan harapan baru bagi masyarakat
Aceh. B.J Habibie tidak saja mencabut status DOM, namun secara eksplisit
menyatakan permohonan maaf pemerintah kepada masyarakat Aceh atas
akibat-akibat yang ditimbulkan DOM. Dalam lawatannya ke Aceh 7 Agustus
1998, B.J Habibie juga berjanji untuk menarik pasukan seraya menggelar
pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh.
Namun demikian, berbagai upaya yang dilakukan B.J Habibie menunjukkan
bahwa pengadilan itu pada dasarnya hanya menyentuh para pelaku di
lapangan. Sementara para pejabat yang membuat keputusan seakan tak
tersentuh. Kondisi ini yang menyebabkan kekerasan di Aceh terus
berualang. Di sisi lain, kalangan masyarakat sipil yang menuntut
keadilan justru dikriminalisasi sebagai perpanjangan tangan GAM.
B.J Habibie juga membuat keadaan
semakin parah dengan menggelar serangkaian “operasi terbatas” di
pemukiman yang dianggap sebagai basis kekuatan GAM. Namun demikian,
rangkaian operasi itu bukan saja tidak berhasil menghancurkan GAM tapi
justru sebaliknya membuat kelompok-kelompok bersenjata semakin militan.
Bahkan, rangkaian operasi itu telah menghasilkan berbagai efek teror
yang melahirkan korban jauh lebih banyak di kalangan masyarakat sipil.
PCC menyebutkan bahwa pada masa B.J Habibie tercatat gelombang
pengungsian yang paling besar sebagai efek teror yang dilakukan militer
pasca DOM.
Masa pemerintahan Gus Dur
mungkin sedikit agak menghibur karena tingkat kekerasan yang terjadi di
Aceh menurun. Gus Dur memang lebih mengutamakan dialog untuk
penyelesaian Aceh dengan melibatkan Henri Dunant Center (HDC). Salah
satu langkahnya adalah dicapainya kesepakatan Jeda Kemanusiaan
(humanitarian pause) sejak 2 Juni 2000. Sekalipun relatif efektif
mengurangi tindak kekerasan, Jeda Kemanusian belum berhasil menyentuh
masalah pokok yang menjadi tuntutan korban pelanggaran HAM dalam
mengungkap kasus-kasus kekerasan di Aceh. Selain itu, rasa ketidakadilan
masyarakat tetap mencuat karena Gus Dur terkesan mengabaikan aspek
kesejahteraan. Pada masa Gus Dur, praktek korupsi mulai merambah ke
daerah mewarnai pelaksanaan otonomi daerah. Ironisnya, Gus Dur sendiri
terjerat kasus hibah Sultan Bolkiah. Rakyat Aceh pun merasa ditipu lagi!
Menjelang masa pemerintahannya,
Megawati pernah sesumbar “Kalau Cut Nyak memimpin negeri ini, tidak akan
saya biarkan setetes darah pun menetes di Aceh”. Sebagaimana
BJ.Babibie, Megawati pun menyampaikan permohonan maaf secara terbuka
kepada masyarakat Aceh. Dalam pidato emosional di depan masjid besar
Banda Aceh, Megawati mengatakan, pemerintah-pemerintah terdahulu
memiliki kekurangan dan telah melakukan berbagai kesalahan. Ia minta
maaf secara pribadi dan atas nama pemerintah Indonesia, dan menyerukan
agar rakyat Aceh memberikan waktu kepada pemerintahannya untuk
menyelesaikan persoalan Aceh.
Lantas, apa yang dilakukan
Megawati? Darurat Sipil dan Darurat Militer! Berbekal Keputusan Presiden
(Kepres) No.28 tahun 2003, Megawati mengintruksikan Aceh kembali
sebagai daerah operasi militer. Koordinator KontraS yang juga salah
seorang informan Riset Demos, Usman Hamid, menilai kebijakan yang
ditempuh Megawati saat itu sebagai cerminan dari lemahnya pemerintahan
sipil yang tidak punya strategi untuk menyelesaikan masalah Aceh dan
tidak mampu mencari alternatif lain selain membiarkan kekerasan.
“Pemerintah tidak cukup bijak untuk menyadari bahwa upaya merebut
simpati rakyat Aceh tidak dapat dicapai melalui jalan kekerasan,”
ujarnya.
Usman juga menambahkan bahwa
pemerintah sipil tidak mampu melakukan kontrol atas militer yang lebih
powership di Aceh. Bahkan, tampak adanya kesan bahwa pemerintah sipil
membiarkan dirinya dikendalikan kepentingan militer. Senada dengan ini,
laporan International Crisis Center (ICG) menyebutkan ada petunjuk bahwa
TNI, terutama angkatan darat, mengambil manfaat dari konflik
berkepanjangan di Aceh sekalipun bukan merupakan hasil kebijakan
eksplisit. Pertempuran yang berkepanjangan di Aceh memberi peluang
kepada TNI untuk memerankan diri sebagai satu-satunya kekuatan yang
mampu mencegah disintegrasi Indonesia, dan oleh karenanya pengaruh
politiknya dapat dipertahankan.
Naiknya SBY ke tampuk kekuasaan
disambut dengan sejumput harapan. Namun, belum lagi SBY mengeluarkan
“jurus” untuk menangani Aceh, musibah tsunami datang menerjang. Rausan
ribu jiwa yang menjadi korban seakan melengkapi tragedi kemanusiaan dan
menambah luka lama yang kian menganga. Namun di mata Akhiruddin
Mahjuddin, tragedi tsunami selain musibah juga telah memunculkan
solidaritas lintas batas, baik lintas agama, suku, bahkan lintas negara.
Karena itu, ia berharap SBY dapat menjadikannya sebagai strating point
untuk menuju Aceh yang lebih baik. Selain itu, ia juga berharap bahwa
dana yang datang begitu melimpah harus benar-benar mendatangkan manfaat
bagi rakyat, dikelola secara transparan, akuntabel, bebas dari korupsi,
sehingga memunculkan harapan dan kepercayaan publik Aceh. “Kalau terjadi
sebaliknya, maka pupuslah sudah kepercayaan rakyat Aceh … untuk
selamanya,” ujar Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) Aceh
ini.
Harapan yang sama juga
dikemukakan aktivis PCC, Asyraf Fuady. Menurutnya, tragedi tsunami 24
Desember 2004 merupakan momentum strategis untuk menumbuhkan trust
building sekaligus untuk memberikan rasa keadilan yang kini masih
merupakan barang mahal bagi rakyat Aceh. Asyraf menilai, kebijakan SBY
mencabut status darurat sipil di tengah prahara musibah tsunami
merupakan keputusan yang melegakan. Namun demikian, ia menilai belum ada
perubahan signifikan pasca normalisasi Aceh ditetapkan SBY. Pasalnya,
militer belum benar-benar ditarik dari Aceh dan bahkan masih tampak
dominan. PCC sebagai organisasi kemanusiaan pun masih diliputi
ketidaknyamanan dalam hal keamanan. “Semua lembaga masih merasa trauma
dan tertekan, termasuk PCC yang bergerak dalam soal kemanusiaan,”
ujarnya.
Berbagai langkah SBY kini mulai
diuji. Selain menetapkan normalisasi Aceh dengan mencabut darurat sipil,
SBY juga telah membentuk Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR).
Tugas ini tentu tak semudah membalik telapak tangan. Karena itu, sudah
semestinya segenap komponen bangsa turut mendukung sekaligus mengawasi
agar program recoveri Aceh ini berhasil, tidak saja merekonstruksi
kerusakan fisik yang porak-poranda akibat tsunami, namun juga mampu
memulihkan harapan dan dignitas yang terampas serta menyembuhkan jiwa
rakyat Aceh yang sekian lama telah tersiksa. Recoveri Aceh merupakan
pertaruhan besar bangsa ini, apakah rakyat Aceh akan tetap memiliki
harapan dan masa depan atau mereka tetap merasa tertipu untuk ke sekian
kalinya!
***
Alumnus Jurusan Sastra Arab, FIB-UGM dan
studi pascasarjana di FISIPOL-UGM, Kompasiana.com