Kontroversial pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh kian santer terdengar. Lambang dan Bendera sebagai Indentitas Aceh yang telah disetujui dan termaktub di dalam MoU Helsinki terancam dianulir Pusat. Untuk kesekian kalinya, Akankan Aceh Tertipu kembali?
Awalnya ia bersedia berunding dengan bekerja sama membantu menaklukkan perlawanan masyarakat Aceh. Tapi akhirnya Belanda malah dikelabui oleh suami Tjoet Nyak Dien ini. Ratusan pucuk senjata berhasil dicuri dan digunakan kembali untuk melawan Belanda.
Selain cerita tersebut, sebenarnya masih banyak tipu-tipu masyarakat
Aceh yang ternukil dalam sejumlah hikayat. Menurut sejumlah kalangan,
“tipu Aceh” ini dapat diartikan sebagai “tipu” untuk kepentingan
pribadi, di sisi lain cara tersebut juga merupakan “taktik” untuk
mencapai sebuah tujuan politis dan perjuangan membela bangsa Aceh
melawan segala bentuk kolonialisme.
Meski tipu-tipu Aceh ini sangat dikenal bahkan sempat menjadi bagian
dari catatan seorang pengarang asal Jawa Barat dalam buku berjudul “Aceh di Mata Urang Sunda”,
nyatanya di balik itu sejak masa kemerdekaan hingga kini, Aceh lah yang
selalu tertipu atau dibohongi oleh pemerintah Pusat Jakarta. Situasi
ini mulai terlihat sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno.
Sejak itu Aceh mulai tertipu dengan janji-janji semu. Pada masa pemerintahan selanjutnya bahkan lebih parah dari sekadar ditipu, Aceh bahkan “dibungkam”. Mirisnya hingga kini Aceh masih saja tertipu. Faktanya, ketika Pemerintah Republik Indonesia dan GAM menandatangani MoU Helsinki, sejumlah poin MoU tersebut (termasuk Bendera dan Lambang Aceh) belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah pusat hingga hari ini.
Sejak itu Aceh mulai tertipu dengan janji-janji semu. Pada masa pemerintahan selanjutnya bahkan lebih parah dari sekadar ditipu, Aceh bahkan “dibungkam”. Mirisnya hingga kini Aceh masih saja tertipu. Faktanya, ketika Pemerintah Republik Indonesia dan GAM menandatangani MoU Helsinki, sejumlah poin MoU tersebut (termasuk Bendera dan Lambang Aceh) belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah pusat hingga hari ini.
Dengan segudang alasan, Aceh harus tetap menunggu sejumlah poin MoU
untuk direalisasikan. Bahkan baru-baru ini, Aceh kembali hampir tertipu
ketika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kawasan bebas Sabang--yang
cukup lama dinanti--dianulir oleh Kementerian Keuangan. Beberapa pasal
yang telah disepakati, kembali dianulir oleh Menteri Keuangan, dengan
alasan ada kesalahan ‘komunikasi” di jajarannya. Kesalahan seperti apa? Wallahu’alam.
Untung saja
saat itu Wakil Gubernur Aceh segera menyampaikan hal tersebut kepada
Presiden SBY dalam sebuah momen Pramuka di Jakarta. Jika tidak, aturan
tersebut dapat menjadi tipu Jakarta berikutnya. Itu sebabnya
reaksi keras datang. Aceh tentu tak ingin tertipu lagi, sebab dulu
pelabuhan bebas juga sempat dihentikan oleh Presiden Soeharto dengan
sebab-musabab yang kecil, misalnya disebut maraknya penyelundupan.
Menurut Sejarawan Aceh, Drs Rusdi Sufi, berdasarkan sejarah Aceh, di balik tipu-tipu Aceh,
cukup banyak tipu-tipu Jakarta terhadap Aceh. Berdasarkan pengalaman
tersebut, ke depan para pemimpin maupun generasi Aceh harus berhati-hati
dan jangan mudah terbuai dengan janji semu Jakarta. Intinya, masyarakat
harus tetap bersatu agar tidak mudah dikelabui pihak Jakarta
(pemerintah Pusat).
Sementara menurut Pemerhati Sejarah Aceh, Ramli A Dally, teknik tipu yang dilancarkan Jakarta terhadap Aceh hingga saat ini bisa saja telah di-setting dan menjadi bagian dari teori kekuasaan. Dengan kata lain, Aceh sejak
dulu dijadikan kawasan tertentu (cadangan kekuasaan) untuk mencapai
sebuah tujuan. Diibaratkan sebuah ular, katanya, meski kepalanya
dilepas, namun ekornya tetap dipegang bahkan diikat dengan kuat. Untuk itu masyarakt Aceh harus tetap waspada terhadap tipu-tipu Jakarta.
Berdasarkan sejumlah sumber yang diperoleh dari Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, banyak catatan tentang perlakuan Pusat terhadap Aceh
yang cukup memiriskan hati dan menyebabkan masyarakat Aceh dirugikan.
Penipuan terhadap Aceh sebenarnya telah terjadi sejak zaman kemerdekaan
atau masa revolusi kemerdekaan.
Dulu pada tahun 1948, saat masa revolusi kemerdekaan atau setelah
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, seluruh kawasan Indonesia
kembali diduduki oleh Belanda, kecuali Aceh. Awalnya, setelah Belanda
menyerah kepada sekutu, pada September tahun 1948 tentera sekutu masuk
ke Indonesia untuk menerima penyerahan Jepang kepada Indonesia. Namun
saat itu penguasa sipil Belanda yakni NICA (Nederlandsch Indie Civil
Administratie) menyusup masuk dan kembali menduduki Indonesia. Bahkan
Presiden Soekarno ditangkap saat itu. Satu-satu kawasan yang tidak
dimasuki Belanda adalah Aceh.
Saat itulah petinggi-petinggi RI datang ke Aceh yang tetap aman. Bahkan
uang Indonesia (Oeang Republik Indonesia) pernah dicetak di Aceh.
Selanjutnya pada 7 Mei 1949, ditandatanganilah kesepakatan yang
dinamakan Perjanjian Rum-Royen. Berdasarkan perjanjian tersebut, tahanan
politik dibebaskan, Belanda menyetujui adanya Republik Indonesia
sebagai bagian dari Republik Indonesi Serikat, selanjutnya akan
diselenggarakan Konfrensi Meja Bundar antara Belanda dengan Indonesia
setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta. Saat itulah
Soekarno dibebaskan. Setelah dibebaskan, ia datang ke Aceh bersama
sejumlah rombongan.
Kedatangannya ke Aceh melalui lapangan terbang di Lhoknga disambut
sangat meriah oleh masyarakat. Selanjutnya diadakan pertemuan dengan
para tokoh dan saudagar Aceh di Hotel Aceh yang kini hanya tinggal
tapaknya saja, yakni kawasan samping Masjid Raya Baiturrahman, Banda
Aceh. Saat itu Aceh merupakan sebuah Keresidenan Aceh yang dipimpin oleh
T. Daudsyah setelah menggantikan T. Nyak Arif. Soekarno juga bertemu
dengan Daud Beureueh yang merupakan Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan
Tanah Karo.
Kala
itu Daud Beureueh meminta agar khusus kawasan Aceh diberlakuan syariat
Islam. Soekarno menyetujuinya. Aceh menyatakan setia kepada republik,
namun Daud meminta agar kesepakatan tersebut dapat berbentuk hitam di
atas putih (tertulus). Namun hal itu tak pernah terjadi.
Soekarno dengan berlinang air mata bahkan bersumpah akan mewujudkan hal itu. Dia mengaku tak perlu bukti tertulis karena Daud Beureueh merupakan orang yang dihormatinya sehingga tak mungkin dikhianati. “Itulah tipu pertama yang terjadi terhadap Aceh. Presiden saat itu tak bersedia membuat perjanjian tertulis,” kata Sejarawan Rusdi Sufi.
Soekarno dengan berlinang air mata bahkan bersumpah akan mewujudkan hal itu. Dia mengaku tak perlu bukti tertulis karena Daud Beureueh merupakan orang yang dihormatinya sehingga tak mungkin dikhianati. “Itulah tipu pertama yang terjadi terhadap Aceh. Presiden saat itu tak bersedia membuat perjanjian tertulis,” kata Sejarawan Rusdi Sufi.
Tak cukup dengan tipu tersebut, siang harinya, saat berkumpul dengan
para saudagar Aceh, Soekarno menginstruksikan kepada para saudagar bahwa
di seluruh Indonesia, telah dibentuk semacam penggalangan dana untuk
membeli pesawat milik Indonesia. Untuk itu para saudagar juga diimbau
untuk menyumbang dana membeli pesawat.
Saat itu semua pedagang saling menatap dan terdiam. Lama terdiam, Soekarno kembali bicara “Jika tak menjawab, saya tak akan makan siang dengan para saudagar”, katanya. Akhirnya, saudagar setuju, maka terkumpulah sekira 20 kilo emasdari saudagar dan masyarakat.
Transaksi nilai tersebut saat itu dapat membeli dua buah pesawat jenis Dakota RI-001 Seulawah. Namun setelah dibentuk panitia pengadaan pesawat, hanya satu pesawat yang dibeli---bangkai pesawat ini sekarang diletakkan di Blang Padang, Banda Aceh--sisanya dikorup oleh sejumlah orang yang terlibat di Pusat. Pesawat inilah yang seterusnya menjadi cikal bakal perusahan penerbangan pertama di Indonesia.
Saat itu semua pedagang saling menatap dan terdiam. Lama terdiam, Soekarno kembali bicara “Jika tak menjawab, saya tak akan makan siang dengan para saudagar”, katanya. Akhirnya, saudagar setuju, maka terkumpulah sekira 20 kilo emasdari saudagar dan masyarakat.
Transaksi nilai tersebut saat itu dapat membeli dua buah pesawat jenis Dakota RI-001 Seulawah. Namun setelah dibentuk panitia pengadaan pesawat, hanya satu pesawat yang dibeli---bangkai pesawat ini sekarang diletakkan di Blang Padang, Banda Aceh--sisanya dikorup oleh sejumlah orang yang terlibat di Pusat. Pesawat inilah yang seterusnya menjadi cikal bakal perusahan penerbangan pertama di Indonesia.
Konon setelah menyumbang untuk pesawat, para saudagar dan masyarakat
Aceh juga pernah membeli obligasi senilai puluhan kilogram emas. Emas
ini diterima oleh Margono Joyo Hadi Kusomo, ayah dari Sumitro (Presiden
Bank Negara Indonesia) atau kakek dari Prabowo Subianto. Obligasi ini
rencananya digunakan untuk membangun bank milik Pemerintah Indonesia,
namun tak jelas juntrungannya sehingga Aceh tak pernah memperoleh
kontribusi secara maksimal. Aceh kembali tertipu.
Istimewa hanya sebutan Saat itu, posisi perekonomian Aceh memang lebih
maksimal dibanding dengan sejumlah kawasan lainnya di seluruh Indonesia.
Pasalnya, semua lautan dikuasai oleh Belanda. Namun, saudagar Aceh
berani menembus blokade Belanda di laut sehingga dapat melakukan
perdagangan dengan negara luar. Situasi ekonomi yang tergolong makmur
ini seolah dimanfaatkan sebagai Keuntungan bagi Pusat. Tak lama setelah itu, Aceh akhirnya dijadikan provinsi, Daud Beureueh menjadi Gubernur pertama.
Namun tak sampai setahun, yakni tahun 1950, pemerintah pusat memutuskan hanya ada sepuluh provinsi di Indonesia. Aceh digabung dengan Sumatera Utara. Pusat beralasan bahwa berdasarkan konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) hanya ada sepuluh provinsi, padahal status RIS telah ditolak oleh sebagian besar bangsa Indonesia sehingga Indonesai kembali menjadi NKRI. Anehnya ternyata jumlah provinsi bukanlah sepuluh, melainkan sebelas, karena secara diam-diam, pemerintah menyetujui Jogjakarta menjadi provinsi, bahkan dengan status istimewa. Itu tetap berjalan walau bertentangan dengan Undang-undang. Aceh kembali tertipu.
Namun tak sampai setahun, yakni tahun 1950, pemerintah pusat memutuskan hanya ada sepuluh provinsi di Indonesia. Aceh digabung dengan Sumatera Utara. Pusat beralasan bahwa berdasarkan konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) hanya ada sepuluh provinsi, padahal status RIS telah ditolak oleh sebagian besar bangsa Indonesia sehingga Indonesai kembali menjadi NKRI. Anehnya ternyata jumlah provinsi bukanlah sepuluh, melainkan sebelas, karena secara diam-diam, pemerintah menyetujui Jogjakarta menjadi provinsi, bahkan dengan status istimewa. Itu tetap berjalan walau bertentangan dengan Undang-undang. Aceh kembali tertipu.
Pemerintah Aceh, tak terima dengan status ini. Namun pusat terus
“mendesak”, status ini harus diterima. Akhirnya Aceh kembali turun
menjadi keresidenan. Merasa dikhianati, maka pada September 1953
munculah gerakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang
sebetulnya telah terbentuk di Jawa barat. Namun, di Aceh gerakan serupa
disebut NBA (Negara Bagian Aceh) yang berada di bawah NII (Negara Islam
Indonesai) yang dibentuk oleh Karto Suwiryo. Akibatnya, Aceh Diserang!.
Namun perlawanan Aceh semakin kuat. Mungkin Pusat membaca dari
pengalaman bahwa Aceh tak dapat ditaklukkan dengan kekerasan, maka para
pimpinan DI/TII diajak berdialog. Pusat berjanji akan mengembalikan
status Aceh menjadi provinsi, bahkan ditambah dengan embel-embel
istimewa dari segi kebudayaan, Pendidikan, dan Agama. Lagi-lagi Aceh tertipu.
Status yang dijanjikan hanya berlaku di atas kertas, sedangkan payung
hukum atau regulasi pelaksanaannya tak pernah ada. Praktis realisasinya
juga nihil. Bahkan kata-kata yang ternukil pun cukup menggelitik yakni
“Aceh dapat disebut daerah istimewa” Kalimat ini bisa saja ditafsirkan
bahwa istimewa hanyalah sebutan. Faktanya, ternyata realisasinya memang
tak pernah ada. Namun kala itu, sekira tahun 1957 Aceh sedikit makmur
dari segi perekonomian. Pasalnya, Aceh menjalankan sistem dagang barter
dengan negara luar negeri. Namun beberapa tahun kemudian, sekira akhir
tahun 1959, karena Aceh tergolong makmur, mungkin mata Jakarta mendelik,
kebijakan barter dicabut.
Ternyata tipu-tipu “Jakarta” ini belum selesai hingga di situ. Pada
Tahun 1963, dalam rangka “Ganyang Malaysia, pemerintah Pusat menetapkan
status Sabang menjadi pelabuhan bebas. Namun status itu juga tidak
disertai peraturan teknis yang mengatur pelaksanaannya. Akhirnya
beberapa tahun kemudian, status pelabuhan bebas Sabang kembali dicabut.
Alasan pusat karena terjadi beberapa penyelundupan, padahal hanya dalam
skala kecil. Akhirnya pamor Sabang kembali meredup sehingga perdagangan
Aceh terganggu. Aceh hanya kecipratan rasa bangga, sedangkan hasilnya
tidak ada. Aceh kembali tertipu.
Berdasarkan sejumlah pengkhianatan tersebut, dan disertai sebab lainnya, muncullah GAM. Pada masa-masa selanjutnya, masa Soeharto misalnya, Aceh malah bukan lagi ditipu. Banyak korban rakyat sipil yang berjatuhan. Bahkan seluruh masyarakat Indonesia merasakan hal itu. Saat itu situasi negara sudah mulai dikusai oleh sejumlah partai. Ternyata tak semua masyarakat Aceh dapat tertipu, buktinya ada partai tertentu tidak menang di Aceh. Hal ini menyebabkan rezim yang berkuasa semakin benci kepada masyarakat Aceh.
Berdasarkan sejumlah pengkhianatan tersebut, dan disertai sebab lainnya, muncullah GAM. Pada masa-masa selanjutnya, masa Soeharto misalnya, Aceh malah bukan lagi ditipu. Banyak korban rakyat sipil yang berjatuhan. Bahkan seluruh masyarakat Indonesia merasakan hal itu. Saat itu situasi negara sudah mulai dikusai oleh sejumlah partai. Ternyata tak semua masyarakat Aceh dapat tertipu, buktinya ada partai tertentu tidak menang di Aceh. Hal ini menyebabkan rezim yang berkuasa semakin benci kepada masyarakat Aceh.
Jangan tertipu lagi, Kini pada masa-masa pemeritahan sekrang, hal serupa
pada dasarnya hampir terjadi, dimana sejumlah regulasi sebagai penguat
realisasi poin MoU terkadang diperlambat, bahkan ada yang terkesan
dipersulit. Seperti halnya dengan RPP Sabang, jika saja tak ada
inisiatif yang kuat dari Pemerintah Aceh, bisa saja RPP tersebut sah
dianulir. Demikian juga dengan PP tentang pembentukan KKR, hingga saat
ini belum jelas tunjungannya.
Menurut Sejarawan Rusdi Sufi, dan
Pengamat Sejarah Ramli A. Dally, ke depan Aceh harus waspada terhadap
semua siasat pusat (Jakarta). Pasalnya Aceh akan tetap dijadikan
‘kawasan cadangan” bagi pusat dengan tujuan tertentu.
“Kesimpulannya, pusat hanya akan segan terhadap Aceh jika masyarakatnya bersatu. Jika tidak, masyarakat Aceh kembali akan ditipu, itulah sekilas tipu-tipu pusat. Satu lagi yang paling penting, jangan sampai orang Aceh menipu bangsanya sendiri...”
“Kesimpulannya, pusat hanya akan segan terhadap Aceh jika masyarakatnya bersatu. Jika tidak, masyarakat Aceh kembali akan ditipu, itulah sekilas tipu-tipu pusat. Satu lagi yang paling penting, jangan sampai orang Aceh menipu bangsanya sendiri...”
Tabloid KONTRAS Nomor : 556 |Tahun XII 26 Agustus - 1 September 2010