Sungguh mengenaskan, nasib ketiga muslimah dari Myanmar yang melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kekejaman rezim junta militer di negerinya. Mereka adalah Raihana, Arafa, dan Hamidah,Seperti dilaporkan kantor berita asing, ketiganya menceritakan kisah getirnya saat menyelamatkan diri dari kebiadaban pemerintah Myanmar. Raihana, 25 tahun, kepada kantor berita Anatoli Turki mengatakan bahwa dalam upayanya melarikan diri ke Bangladesh, dia bersama anak perempuannya yang baru berusia satu tahun, terpaksa memakan dedaunan dan ilalang agar bertahan hidup.
Seorang pengungsi Muslimah lainnya bernama Arafah, 27 tahun, mengatakan bahwa dia telah melintasi perjalanan yang sangat sulit dan berbahaya dari Myanmar hingga Bangladesh bersama dua anak perempuannya Jannat (delapan tahun) dan Khurshid (empat tahun).
Arafah menambahkan bahwa setelah suaminya ditangkap oleh pasukan keamanan Myanmar, dia dan anak-anaknya terpaksa melarikan diri karena menurutnya, pasukan keamanan membakar hidup-hidup warga Muslim dan mereka mencegah warga Muslim pergi ke Masjid.
Adapun Hamidah mengatakan, setelah suami dan anak lelakinya ditangkap oleh pasukan keamanan, dan rumah mereka dibakar. Mereka pun terpaksa melarikan diri ke Bangladesh.
Perserikatan Bangsa Bangsa dan berbagai lembaga HAM membenarkan bahwa etnis Muslim Rohingya, Myanmar, telah selama bertahun-tahun menghadapi kezaliman dan kejahatan sistematik oleh pemerintah Myanmar.
Laporan Terkini
Dilaporkan dari Myanmar, menyebut sedikitnya 100 rumah milik suku minoritas Muslim Rohingya dibakar dalam aksi kekerasan terbaru antara pemeluk Buddha dan warga minoritas Muslim, Senin (6/8/2012).
Laporan lain menyebut sejumlah warga Muslim Rohingya gugur setelah terjadi serangan di sebelah barat negara bagian Rakhine.Serangan berdarah itu terjadi setelah pemerintah Myanmar menyatakan kawasan itu sudah relatif terkendali selama beberapa pekan terakhir.
Sementara itu, Prancis mendesak Pemerintah Myanmar untuk melindungi semua kelompok etnis di negeri itu tanpa diskriminasi. “Prancis menyatakan pentingnya sebuah resolusi untuk membentuk konsesi damai dan mencapai rekonsiliasi nasional di Myanmar,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Prancis, Vincent Floreani.
Selain itu, Kemenlu Prancis mendesak agar status pengungsi di negara bagian Rakhine segera diperjelas. Status mereka harus diperjelas berdasarkan hak memperoleh kewarganegaraan dan hak untuk menikmati status itu serta menghormati hak asasi manusia.
“Ada kekhawatiran timbul kekerasan yang dilakukan militer terhadap warga sipil. Kami serukan kepada pemimpin Myanmar untuk melindungi rakyatnya tanpa diskriminasi dan melakukan investigasi,” kata Floreani.
Aksi kekerasan ini seakan menjadi awan hitam di atas reformasi yang dilakukan Presiden Thein Shein, termasuk ratusan tahanan politik dan terpilihnya Aung San Suu Kyi ke parlemen.
Organisasi Human Right Watch menuduh militer Myanmar terlebih dulu melepas tembakan ke arah orang-orang Rohingya. Tentara juga diduga melakukan perkosaan terhadap para perempuan Rohingya. (Desas/IRIB/dbs/www.globalmuslim.web.id)
Seorang pengungsi Muslimah lainnya bernama Arafah, 27 tahun, mengatakan bahwa dia telah melintasi perjalanan yang sangat sulit dan berbahaya dari Myanmar hingga Bangladesh bersama dua anak perempuannya Jannat (delapan tahun) dan Khurshid (empat tahun).
Arafah menambahkan bahwa setelah suaminya ditangkap oleh pasukan keamanan Myanmar, dia dan anak-anaknya terpaksa melarikan diri karena menurutnya, pasukan keamanan membakar hidup-hidup warga Muslim dan mereka mencegah warga Muslim pergi ke Masjid.
Adapun Hamidah mengatakan, setelah suami dan anak lelakinya ditangkap oleh pasukan keamanan, dan rumah mereka dibakar. Mereka pun terpaksa melarikan diri ke Bangladesh.
Perserikatan Bangsa Bangsa dan berbagai lembaga HAM membenarkan bahwa etnis Muslim Rohingya, Myanmar, telah selama bertahun-tahun menghadapi kezaliman dan kejahatan sistematik oleh pemerintah Myanmar.
Laporan Terkini
Dilaporkan dari Myanmar, menyebut sedikitnya 100 rumah milik suku minoritas Muslim Rohingya dibakar dalam aksi kekerasan terbaru antara pemeluk Buddha dan warga minoritas Muslim, Senin (6/8/2012).
Laporan lain menyebut sejumlah warga Muslim Rohingya gugur setelah terjadi serangan di sebelah barat negara bagian Rakhine.Serangan berdarah itu terjadi setelah pemerintah Myanmar menyatakan kawasan itu sudah relatif terkendali selama beberapa pekan terakhir.
Sementara itu, Prancis mendesak Pemerintah Myanmar untuk melindungi semua kelompok etnis di negeri itu tanpa diskriminasi. “Prancis menyatakan pentingnya sebuah resolusi untuk membentuk konsesi damai dan mencapai rekonsiliasi nasional di Myanmar,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Prancis, Vincent Floreani.
Selain itu, Kemenlu Prancis mendesak agar status pengungsi di negara bagian Rakhine segera diperjelas. Status mereka harus diperjelas berdasarkan hak memperoleh kewarganegaraan dan hak untuk menikmati status itu serta menghormati hak asasi manusia.
“Ada kekhawatiran timbul kekerasan yang dilakukan militer terhadap warga sipil. Kami serukan kepada pemimpin Myanmar untuk melindungi rakyatnya tanpa diskriminasi dan melakukan investigasi,” kata Floreani.
Aksi kekerasan ini seakan menjadi awan hitam di atas reformasi yang dilakukan Presiden Thein Shein, termasuk ratusan tahanan politik dan terpilihnya Aung San Suu Kyi ke parlemen.
Organisasi Human Right Watch menuduh militer Myanmar terlebih dulu melepas tembakan ke arah orang-orang Rohingya. Tentara juga diduga melakukan perkosaan terhadap para perempuan Rohingya. (Desas/IRIB/dbs/www.globalmuslim.web.id)
0 comments:
Post a Comment
komentar anda...