Isu Bengkulu merdeka atau pembentukan Negara Bengkulu terpisah dari NKRI yang dilontarkan Gubernur Junaidi Hamsyah, Sabtu (31/5), menjadi bola panas. Pernyataan tersebut panen kecaman.
Gubernur Junaidi membuat
pernyataan mengejutkan saat pembukaan Seminar Nasional Kebangsaan di
Hotel Grage Horizon, Sabtu (31/5). Gubernur Junaidi sempat
menyinggung-nyinggung soal pembentukan negara baru, pisah dari NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Menurut Gubernur, Bengkulu merdeka merupakan wujud kekecewaan atas ketimpangan kue pembangunan
(dana APBN) yang dikucurkan oleh pemerintah pusat ke Bengkulu. Entah
bermaksud serius atau sekedar sentilan, namun pernyataan
menyinggung-nyinggung “merdeka” di forum resmi tersebut tak urung
menyita perhatian ratusan peserta seminar.
“Saya menilai belum adil atas kue pembangunan
di Bengkulu. Kalau dua pimpinan (Presiden dan Wapres) sudah datang
tidak juga kebagian, saya tidak tahu lagi. Mungkin kami akan buat negara
Bengkulu,” gertak Gubernur Junaidi Hamsyah.
Panen Kecaman
Sejumlah tokoh dari pusat dan
daerah menyayangkan isu Bengkulu Merdeka tersebut dilontarkan oleh
seorang Gubernur. Kecaman antara lain datang dari putri Megawati
Soekarnoputri, Puan Maharani yang masih berdarah Bengkulu, praktisi
hukum H. Azi Ali Tjasa, SH, MH, sesepuh Bengkulu yang juga mantan wakil
gubernur (Wagub) Bengkulu, Brigjen TNI Purn Iskandar Ramis, M.Si.
Sebelumnya, Ketua Fraksi Demokrat di MPR RI Jafar Hafsah juga mengkritik
dicuatnya isu Bengkulu Merdeka tersebut.
Pernyataan keras disampaikan Azi
Ali Tjasa, SH, MH yang menyebut pernyataan Junaidi berbahaya dan berbau
provokatif yang bisa memicu tindakan Makar sebagaimana diatur Pasal 160
KUHP.
“Saya terkejut dan amat
menyesalkan pernyataan Gub Bengkulu Ustad Junaidi Hamsyah,” kata Ali
Tjasa dalam pernyataan tertulisnya kepada RB.
Ali Tjasa yang dilahirkan dan
dibesarkan di kalangan veteran pejuang menyebut pernyataan mengenai
Bengkulu Merdeka sangat sensitif. Oleh karenanya tidak pantas dan tabu
dilontarkan oleh seorang pemimpin seperti Gubernur.
“Ucapan Gubernur itu cukup
berbahaya dan dapat memicu tindakan Makar dengan maksud memisahkan
sebagian wilayah Negara dari keutuhan NKRI yang termasuk Bengkulu adalah
bagiannya. Secara yuridis jika benar ucapan Gubernur maunya Bengkulu
merdeka sebagai negara baru sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan
provokatif memicu tindak pidana kejahatan Makar seseuai Pasar 160 KUHP
diancam pidana penjara seumur hidup,” tegas Azi Ali Tjasa.
Mencuatnya isu Bengkulu Merdeka
yang dilontarkan seorang Gubernur, membuat Azi Ali Tjasa prihatin dan
miris. Dia mengharapkan agar masyarakat tidak terprovokasi oleh wacana
tersebut, lebih-lebih kepada pelajar dan mahasiswa diminta untuk tidak
mengubrisnya.
“Tidak ada kata lain bahwa bahwa
NKRI, Pancasila, Merah-Putih, dan Bhinneka Tunggal Ika itu sudah final
dan harga mati. Itulah warisan paling berharga buat bangsa dan negara
ini selamanya sebagai hasil perjuangan dan pengorbanan baik harta,
darah, dan nyawa para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia yang diridhoi
Allah SWT,” katanya.
Ia juga mengharapkan agar
Junaidi Hamsyah meralat ucapan dan wacana tersebut dan meminta maaf
kepada rakyat Indonesia serta mohon ampun kepada Allah SWT. Terlebih
lagi dalam rangka memperingati Hari Lahirnya Pancasila pada 1 Juni.
“Hendaknya lebih mengajak
segenap rakyat Bengkulu untuk mempelajari kembali, memahami dan
mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara,” demikian Al Tjasa.
Pada acara peringatan Hari
Lahirnya Pancasila, Minggu (1/6) di Bengkulu, Gubernur Bengkulu Junaidi
Hamsyah dalam sambutannya mengatakan selama dua hari terakhir, dirinya
sengaja melontarkan kritikan keras kepada pejabat pusat. Menurutnya, itu
demi pembangunan Bengkulu.
Tidak pantas
Hal senada juga disampaikan oleh
mantan Wakil Gubernur (Wagub), Brigjend. TNI. (Purn), H. Iskandar Ramis
juga menyayangkan pernyataan Gubernur Junaidi Hamsyah. Iskandar Ramis
salah satu pemateri yang hadir dalam seminar nasional Sabtu lalu.
“Tidak sepantasnya itu
dikatakan. Kalaupun guyon, jangan kearah ke sana. Karena kita
memperingati Hari Lahir Pancasila. Salah satu butir dalam Pancasila
yakni persatuan dan kesatuan. Bukan arahnya memisahkan diri dengan
memerdekakan. Saya terus terang saja, menyesalinya,” kritik Iskandar
Ramis.
Menurutnya dalam seminar yang
dihadiri oleh sejumlah pejabat penting di pusat kemarin, mengangkat soal
kepemimpinan nasional. Sehingga gubernur tidak perlu banyak mengeluhkan
soal anggaran. Padahal bisa jadi anggaran yang dikucurkan minim itu,
karena tidak mengerti prosedur administrasi nasional.
Dia juga berpendapat, bahwa
triluan anggaran yang dikucurkan untuk Bengkulu tidaklah artinya juga
dibandingkan dengan menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. “Walaupun guyonan,
saya kira kurang tepat masalah persatuan. Kalaupun mau guyon, boleh
tapi kearah lain. Pancasila tidak boleh dibuat main-main,” kata
Iskandar Ramis.
Apalagi pernyataan Gubernur
Junaidi mendapat koreksi dari berbagai kalangan. Seperti dari Ketua
Fraksi Demokrat MPR RI, Jafar Hafsah.
“Sebagai warga negara dan warga
Bengkulu, saya malu orang penting di Bengkulu ngomong seperti itu. Kita
selama ini menggembor-gemborkan NKRI harga mati. Jadi keliru sekali,”
tukas Iskadar Ramis.
PDI-P Meradang
Ketua Dewan Pimpinan Pusat
PDI-P, Puan Maharani mengatakan, tidak selayaknya ancaman membentuk
negara baru disampaikan seorang Gubernur dalam forum seminar nasional
kebangsaan. Seperti diketahui seminar dengan tema “Kepemimpinan
Nasional dan Demokrasi Kita dalam Bingkai NKRI” itu diselenggarakan oleh
MPR RI dalam rangkaian peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni.
“Seharusnya gubernur tidak pada
tempatnya mengatakan hal tersebut. Indonesia adalah bagian NKRI. Kalau
gubernur saja mengancam pemerintahan kita dalam tanda kutip, walaupun
hanya wacana, itu tidak boleh dilakukan seorang pemimpin di daerah.
Inikan gubernur adalah pemimpin dalam satu provinsi,” kritik Puan
Maharani yang ditemui wartawan usai mengunjungi rumah pengasingan
Presiden RI pertama, Ir. Soekarno yang tak lain kakeknya, Minggu (1/6).
Menurutnya walaupun gubernur
kecewa dengan pemerintah pusat karena merasa pembagian “kue” anggaran
pembangunan untuk Bengkulu selama ini tidak adil, maka tidak mesti harus
mengancam membentuk negara baru. Menurutnya persoalan minimnya anggaran
yang diperoleh dapat diselesaikan secara baik-baik, dengan
mengkomunikasikannya ke pemerintah pusat.
“Kalau ada kekecewaan, ya itu
harus diselesaikan secara baik ke pemerintah pusat. Tapi tidak
sepantasnya bicara seperti itu. Bayangkan saja kalau seorang kepala
daerah dalam kekecewaannya mengatakan provinsi dan kabupaten merdeka.
Apa yang akan terjadi dengan republik ini kedepan?,” ungkap Puan yang
juga Ketua DPP PDI Perjuangan itu.
Selama ini, para pejuang
Indonesia, terutama Presiden RI pertama, Bung Karno terus memperjuangkan
agar menjaga stabilitas NKRI. “Kita mati-matian berjuang, adalah
menginginkan NKRI. Termasuk dalam 4 pilar kebangsaan,” tukas Puan.
Jadi perkataan memisahkan diri
dari NKRI seyogyanya tidak boleh keluar dari kepala daerah, walaupun
hanya untuk guyonan atau bercanda.
“Kecewa ingin merdeka, kepala
pemerintahan tingkat provinsi membawahi rakyat di provinsinya, tidak
boleh. Dalam seloroh juga tidak pantas mengatakan seperti itu,” kata
Puan.
Gubernur Minta Maaf
Namun, dua hari berselang, senin
(2/6) Gubernur Junaidi sempat menyampaikan permintaan maaf terkait
pernyataannya itu kepada pemerintah pusat.
“Maafkan saya kalau sejak dari
seminar kemarin, dan sambutan tadi malam saya bicara keras kepada
lembaga tinggi negara, dan pejabat penentu kebijakan di RI. Saya lebih
suka bicara keras kepada pejabat penentu kebijakan, daripada saya
dieluh-eluhkan oleh masyarakat Bengkulu. Biarlah saya tidak
mengeluh-eluhkan, asalkan pembanguan mengucur ke Bengkulu ini,” ungkap
Junaidi.
Menurutnya Bengkulu membutuhkan
perhatian pemerintah pusat. Seperti pembangunan jalan nasional Bengkulu –
Lubuk Linggau, pembangunan jalur lintas barat Sumatera, Bengkulu –
Lampung dan Bengkulu- Sumbar. Untuk jalur laut, yani pengembangan
Pelabuhan Pulau Baai. (*bengkuluexpres)