Orang Eropa menyebutnya Hagia
Sophia. Turki memberi nama Ayasofia. Selama 900 tahun, Hagia Sophia
adalah gereja. Setelah Sultan Mehmet Sang Penakluk merebut
Konstantiopel, bangunan ini -- selama 500 tahun berikutnya -- menjadi
Masjid Ayasofya.
Kini, Hagia Sophia atau Ayasofya adalah museum. Status baru bangunan itu
diberikan setelah Turki bukan lagi negara Islam. Museum melambangkan
sekularisme Turki modern.
Pekan lalu, tepatnya Sabtu (24/5), puluhan ribu Muslim berkumpul di
Hagia Sophia atau Ayasofya untuk meminta Recep Tayyip Erdogan -- perdana
menteri Turki saat ini -- memfungsikan kembali bangunan itu sebagai
masjid.
"Ini dorongan serius untuk mematahkan rantai Ayasofya," ujar Salih
Turan, kepala Asosiasi Pemuda Anatolia, yang mengumpulkan 15 juta tanda
tangan dari seluruh Turki untuk petisi mengubah Ayasofya kembali menjadi
masjid.
Ayasofya, menurut Turan, adalah simbol dunia Islam dan penaklukan Istanbul. Tanpa merebut Ayasofya, penaklukan tidak lengkap.
"Kita gagal menghormati upaya Sultan Mehmet," ujarnya, seraya mengutip
akta abad ke-15 yang ditanda-tangani Sultan Mehmeh bahwa barang siapa
mengubah fungsi Ayasofya selain masjid adalah dosa.
Sebuah film, yang menggambarkan pengambil-alihan Konstantiopel oleh pasukan Muslim, dibuat tahun 2012 dan dirilis dengan judul Conquest 1453. Jutaan Muslim Turki menyaksikan film ini. Versi lain dari film itu ditayangkan di museum dengan judul Panorama 1453.
Ibrahim Kalin, panasehat senior Erdogan, mengatakan tidak ada rencana mengubah Ayasofya kembali menjadi masjid. Ayasofya, atau Hagia Sophia, telah terbuka menjadi tempat umum dan dikunjungi orang berbagai agama dari seluruh dunia.
Tahun lalu, Erdogan juga mengatakan tidak akan mempertimbangkan usulan mengubah Ayasofya kembali menjadi masjid. Alasannya, Masjid Sultah Mehmed -- dibangun abad ke-17 -- sering kosong. Ia juga mengatakan Istanbul telah memiliki 3.000 masjid, jadi tidak perlu lagi mengubah Ayasofya sebagai masjid.
Namun Muslim Turki percaya menjadikan Hagia Sophia sebagai museum tidak ubahnya merendahkan jasa Sultan Mehmet. Ribuan Muslim Turki merespon pernyataan ini. Mereka berkumpul di Hagia Sophia, mengumandangkan azan di pekarangan masjid, dan sholat berjamaah.
Kampanye juga dilakukan di media sosial. Politisi memanfaatkan situasi, dengan mengusulkan undang-undang yang mengijinkan Muslim shalat di Ayasofya. Politisi lain mengatakan jika Erdogan merespon positif keinginan Muslim Turki, dirinya akan dengan mudah menjadi presiden.
Di luar Turki, komunitas-komunitas Kristen mengecam kampanye ini. Sebuah komisi Kebebasan Beragama Internasional di AS, misalnya, mengecam langkah mengubah Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Pengubahan itu, katanya, hanya akan membangkitkan memori penganiayaan terhadap orang Kristen di Konstantinopel.(*inl)
Hagia Sophia dibangun tahun 537 oleh Kaisar Justinian, penguasa Roma
Binzantium yang wilayah kekuasaannya membentang dari Spanyol sampai ke
Timur Tengah. Hagia Sophia adalah kata dalam Bahasa Yunani yang berarti
'kebijakan ilahi'.
Selama 900 tahun Hagia Sofia menjadi bangunan tak tertandingi, dan
berdiri di tengah kota berdinding tebal sulit ditembus siapa pun, sampai
Sultan Mehmet menaklukannya tahun 1453. Sultah Mehmet mengubah Hagia
Sophia menjadi masjid, tapi melestarikan semua ornamen kektistenan di
dalamnya.
Tahun 1934 Mustafa Kemal Ataturk, pemimpin Turki modern sekuler,
mengubah bangunan itu menjadi museum. Kini, Hagia Sophia atau Ayasofya
adalah salah satu daya tarik wisata Turki. Dikunjungi tidak hanya oleh
Muslim, tapi juga Kristen.
Dalam beberapa tahun terakhir, bersamaan dengan berkembangnya identitas
Islam di bawah Erdogan, muncul minat baru di kalangan Muslim Turki untuk
menunaikan shalat di Ayasofya. Sebelum Erdogan muncul, Turki lebih
berorientasi ke Barat, dan mencemooh masa lalu Kekaisaran Ottoman.
Erdogan mempromosikan Perayaan Penaklukan Konstantinopel, kota yang kini
bernama Istanbul. "Penaklukan Konstantinopel adalah penghapusan
belenggu pintu di dalam hati," ujar Erdogan, saat menandai ulang tahun
ke-561 kekalahan Bizantium. "Peradaban datang dengan penaklukan."
Sebuah film, yang menggambarkan pengambil-alihan Konstantiopel oleh pasukan Muslim, dibuat tahun 2012 dan dirilis dengan judul Conquest 1453. Jutaan Muslim Turki menyaksikan film ini. Versi lain dari film itu ditayangkan di museum dengan judul Panorama 1453.
Ibrahim Kalin, panasehat senior Erdogan, mengatakan tidak ada rencana mengubah Ayasofya kembali menjadi masjid. Ayasofya, atau Hagia Sophia, telah terbuka menjadi tempat umum dan dikunjungi orang berbagai agama dari seluruh dunia.
Tahun lalu, Erdogan juga mengatakan tidak akan mempertimbangkan usulan mengubah Ayasofya kembali menjadi masjid. Alasannya, Masjid Sultah Mehmed -- dibangun abad ke-17 -- sering kosong. Ia juga mengatakan Istanbul telah memiliki 3.000 masjid, jadi tidak perlu lagi mengubah Ayasofya sebagai masjid.
Namun Muslim Turki percaya menjadikan Hagia Sophia sebagai museum tidak ubahnya merendahkan jasa Sultan Mehmet. Ribuan Muslim Turki merespon pernyataan ini. Mereka berkumpul di Hagia Sophia, mengumandangkan azan di pekarangan masjid, dan sholat berjamaah.
Kampanye juga dilakukan di media sosial. Politisi memanfaatkan situasi, dengan mengusulkan undang-undang yang mengijinkan Muslim shalat di Ayasofya. Politisi lain mengatakan jika Erdogan merespon positif keinginan Muslim Turki, dirinya akan dengan mudah menjadi presiden.
Di luar Turki, komunitas-komunitas Kristen mengecam kampanye ini. Sebuah komisi Kebebasan Beragama Internasional di AS, misalnya, mengecam langkah mengubah Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Pengubahan itu, katanya, hanya akan membangkitkan memori penganiayaan terhadap orang Kristen di Konstantinopel.(*inl)