Wanita itu tak lain adalah Pocut Baren. Pocut Baren adalah seorang Uleebalang di Tungkob. Ia bukanlah wanita pertama yang memerintah di aceh; sebelumnya –berabad-abad yang lalu- telah ada ratu-ratu1 yang mengendalikan pemerintahan, tak kalah hebatnya dengan pria dan Pocut Baren merupakan pengganti pria.
Lahir pada tahun 1800, merupakan
puteri dari Teuku Cut Amat; keluarganya sudah sekian lama turun temurun
menjadi Uleebalang di Tungkob. Bila melihat sekarang banyaknya kendaraan
yang memudahkan untuk datang kemana saja, tentu Tungkob bukanlah daerah
yang jauh. Tapi bila melihat tungkop lima puluh tahun silam, Tungkob
itu benar-benar jauh dipedalaman, di daerah Woila Hulu. Ia merupakan
sebagian federasi Kawai XII yang kedalamnya termasuk juga Pameue,
Geumpang, Tangse, Anoe dan Ara dan dari nama-nama itu orang segera dapat
mengetahui bahwa tempat tersebut terletak di pusat pegunungan.
Bersuamikan seorang Keujruen
yang kemudian menjadi Uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Yang
kemudian tewas dalam peperangan melewan Belanda. Peperangan yang dia
ikut juga didalamnya. Namun kematian suaminya tidak menyurutkan
semangatnya untuk terus melanjutkan berjuang.
Di gambarkan oleh H.C. Zentgraaff,
Pocut Baren selalu diiringi oleh semacam pengawal, terdiri dari lebih
kurang tiga puluh orang pria. Kemana-mana ia selalu memakai peudeueng tajam (pedang tajam), sejenis kelewang bengkok, mungkin sejenis pedang Turki yang sangat terkenal di pantai Barat.
Pocut Baren telah berjuang dalam
waktu yang cukup lama. Sejak muda ia terjun ke kancah pertempuran. Pocut
Baren juga ikut berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Perjuangan
dan perlawanan Pocut Baren yang gagah berani dilukiskan sendiri oleh
penulis Belanda bernama Doup. Pocut Baren telah melakukan perlawanan
terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Cut Nyak Dhien
pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905.
Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan
Belanda, meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif berjuang secara sendirian.
Dengan demikian, pada masa itu di wilayah Aceh terdapat dua wanita
pejuang yang memimpin pasukannya melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien
dan Pocut Baren.
Setelah penangkapannya oleh
Belanda, dia dipindahlan ke kutaraja. Kakinya yang tertembak karena
tidak menerima perawatan yang cukup lalu membusuk dan harus diamputasi.
Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini oleh
Belanda tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia dikembalikan ke
kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang.
Namun demikian perlawanan Pocut
tidaklah berhenti sampai disitu saja. Walau ia tidak dapat berperang
langsung namun jiwa panglimanya terus berkobar. Dia terus menyemangati
para anak buahnya. Melalui syair dan pantun
dia menyemangati para pengikutnya agar tetap bersemangat melakukan
perlawanan terhadap kaphe Belanda. Pantun-pantunya yang popular dan
mengesankan itu masih belum dilupakan orang.
Untuk kelancaran perjuangannya,
Pocutpun memikirkan agar tersedianya logistik yang cukup. Maka Pocut
menggerakkan rakyatnya untuk menghidupkan kembali lahan-lahan yang telah
lama terbengkalai. Lahan sawah kembali digarap. Lahan perkebunan
ditanami buah-buahan, sayur-sayuran, kelapa, pala, kakau, cengkeh,
nilam, mangga, pisang, jagung, dan tanaman lainnya. Dan mulai membangun
saluran irigasi yang dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah
penduduk. Hasil nya tidak main-main. Saat panen tiba daerah Tungkop
mengalami surplus pertanian, sehingga sebagian hasilnya dapat dikirimkan
ke daerah-daerah lain.
Itulah semangat Uleebalang Wanita
Aceh ini. Kecacatannya tidak menjadikan dia berputus asa dan kehilangan
semangat untuk terus berjuang hingga akhir hayatnya. Pocut Baren
meninggal di tahun 19332. Dalam masyarakatnya nama wanita ini
meninggalkan kenangan sebagai seorang wanita di pantai Barat yang
paling cakap dan penuh vitalitas dari semua wanita yang ada di daerah
itu.
Ket :
1. Ratu –ratu dimaksud adalah :
- Tajul Alam Safiatuddin (1641 – 1675 M)
- Nurul Alam Naqiatuddin (1675 – 1678 M)
- Inayatsyah (1678 – 1688 M)
- Kamalatsyah (1688 – 1699 M)
- Tajul Alam Safiatuddin (1641 – 1675 M)
- Nurul Alam Naqiatuddin (1675 – 1678 M)
- Inayatsyah (1678 – 1688 M)
- Kamalatsyah (1688 – 1699 M)
2.
Menurut laporan politik Gubernur Aceh O.M Goedhart selama
pertengahan pertama tahun 1928, Pocut Baren meninggal tanggal 12
maret 1928. Zentgraff keliru mencatat tahun 1933
*Uleebalang : Tokoh Adat *Keujreun : Pejabat Daerah
0 comments:
Post a Comment
komentar anda...