Maimun MA, Peneliti dan Akademisi Universitas Syiah Kuala |
PENELITI Aceh yang juga akademisi Universitas Syiah Kuala, Maimun MA,
mengkritis analisis peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Siti Zuhro, yang mengeluarkan statemen negatif soal bendera
Aceh.
Seperti dikutip dari laman metronews.com, Siti Zuhro di Jakarta, Selasa 26 Maret 2013, mengatakan keberadaan bendera Aceh akan sama seperti memerihara borok masa lalu.
“Kita sangat menyayangkan pernyataan peneliti senior LIPI bahwa bendera Aceh tak harusnya berkibar,” kata Maimun MA
Menurutnya, peneliti LIPI itu seharusnya membaca dan memahami dengan teliti MoU Helsinki secara lebih optimal.
“Agar pernyataan mereka menyangkut bendera Aceh tidak disalah-artikan,” kata dosen FKIP Unsyiah ini lagi.
Kata dia, dalam MoU Helsinki dengan jelas tertulis bahwa Aceh berhak
memiliki lambang daerah, termasuk bendera. Hal ini terdapat dalam poin
I.I.5 MoU Helsinki.
“Saya menyarankan agar peneliti senior dari lembaga yang katanya tingkat
nasional itu untuk lebih belajar banyak tentang ketatanegaraan. Jangan
bikin malu republik ini,” kata Maimun MA lagi.
Sebelumnya diberitakan metronews.com, Siti Zuhro juga mengatakan bahwa persoalan Aceh sudah selesai.
“Kalau memunculkan bendera GAM lagi, sama saja memelihara borok masa
lalu yang sebenarnya sudah selesai melalui perjanjian damai Helsinki,”
kata Siti Zuhro di Jakarta, Selasa (26/3), seperti yang dilansir
metronews.com.
Siti menegaskan, pemunculan bendera Aceh tersebut bersinggungan dengan
kedaulatan negara. Karena bendera NKRI hanya satu, yakni Merah Putih.
Siti mengatakan, meskipun Aceh berstatus sebagai daerah otonomi khusus,
tidak dibenarkan dengan mempunyai bendera.
“Ini harus diwaspadai oleh pemerintah pusat, sekali diperbolehkan, akan
menjadi endemik dan daerah lainnya yang masih rawan separatisme ikut
mengadopsi hal semacam itu,” tutur Siti.
Ia mengatakan, klausul adanya bendera Aceh tidak tercantum dalam
perjanjian Helsinki. Ia pun meminta pemerintah Aceh tidak mengada-ada
dengan memunculkan bendera, karena pusat sudah mengakomodasi subtansi
perjanjian Helsinki seperti pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA), partai lokal Aceh.
“Itu kan sudah, apa yang diamanatkan Helsinki, membuat pemerintah Aceh,
dan partai lokal. Yang namanya bendera tidak ada dalam perjanjian
Helsinki,” ujarnya
sumber:atjehpost