“...Orang-orang
yang menyakiti orang-orang beriman lelaki dan perempuan tanpa kesalahan
yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kesalahan
dan dosa yang nyata...” (Qur-an, Al-Ahzab: 58)
Hingga detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di
kompleks pemakaman keluarganya di Imogiri. Namun, perampokan atas
seluruh kekayaan alam negeri Indonesia masih saja terus berjalan dan
dikerjakan dengan sangat leluasa. Sederet fakta-fakta yang tak
terbantahkan jika negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran.
Soeharto dianggap dalang dari itu semua.
Namun siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang
ditulis para cendekia dari dalam dan luar negeri tentang betapa
bobroknya kinerja pemerintahan di saat Suharto berkuasa selama lebih
kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan,
namun nama Suharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan.
Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung
Karno ini disebut sebagai Jenderal itu diberi penghargaan sebagai
pahlawan nasional dan diberi gelar Guru bangsa. Walau menggelikan, namun
begitulah kenyataannya.
Sebab itu, tulisan ini berusaha memaparkan apa adanya tentang Jenderal
Suharto. Agar setidaknya, mereka yang menganggap Suharto layak diberi
gelar guru bangsa atau pun pahlawan nasional, harus bisa bermuhasabah
dan melakukan renungan yang lebih dalam, sudah benarkah tindakan
tersebut.
Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak seorang Suharto
harus diputuskan lewat jalan hukum yakni lewat jalur pengadilan. Adalah
sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar memaafkan dosa-dosa seorang
Suharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa Suharto karena dia
memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.
Sejarah itu Bermula
Aceh, kenyataannya bukanlah wilayah yang NKRI pada awalnya, namun
bergabung dengan Indonesia saat Agresi militer Belanda dan sekutu pada
tahun 1947-1949. Kala seluruh wilayah NKRI dikuasai Tentara sekutu, para
pemimpin Indonesia -yang dimaksud- Ir. Soekarno dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, hijrah ke Aceh. Ketika itu, Aceh belum wilayah NKRI.
Disanalah Bung Karno membakar semangat rakyat Aceh dengan pidatonya berapi-api di depan masjid raya Baiturrahman. Didasari persaudaraan se-muslim (Ukhwah Islamiyah), Para memimpin dan Ulama-ulama Aceh saat itu tergerak untuk membantu perjuangan Indonesia agar terlepas dari cengkeraman Belanda kembali.
Para pemimpin Aceh mulai membentuk suatu lembaga guna menggalang dana perjuangan RI, seluruh rakyat Aceh ikut andil mengumpulkan sumbangan dalam bentuk, Emas, Uang dan properti. Hingga terkumpullah dana yang sangat besar, selama Oktober-Desember 1949 terkumpul S$ 500 ribu. Saat itu, pemerintah Indonesia sudah nyaris bangkrut.
Tak hanya itu, kemudian rakyat Aceh mengumpulkan lagi 5 kilogram emas untuk membeli obligasi pemerintah untuk biaya kantor perwakilan Indonesia di Singapura, untuk Kedutaan Besar RI di India, serta biaya untuk L.N. Palar-duta besar Indonesia pertama di PBB (1950-1953)-di New York.
Ke mana saja uang S$ 500 ribu itu dibagikan? Antara lain untuk Angkatan Bersenjata (S$ 250 ribu), kantor pemerintah Indonesia (S$ 50 ribu), pengembalian pemerintah RI dari Yogya (S$ 100 ribu), dan S$ 100 ribu diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis. Ini belum lagi cerita dua pesawat pertama RI jenis Dakota yang juga dari sumbangan rakyat Aceh. Sekali lagi, saat itu Aceh (masih) bukan bagian NKRI. Sayangnya, semua itu berakhir dengan pengkhianatan.
Lalu, Apa kaitnya Aceh dengan Soeharto?
Catatan atas kejahatan HAM rezim Suharto juga dimulai dari wilayah paling barat negeri ini. Kejahatan HAM atas Muslim Aceh yang pertama kali diawali oleh VOC Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas lebih kejam lagi di masa kekuasaan Suharto.
Bahkan di zaman Jenderal Suharto-lah, Aceh yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI—dari segi finansial, sebab itu juga Aceh disebut sebagai ‘Lumbung Uang RI’—justru dijadikan 'lapangan tembak', bernama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.
Selama penerapan status DOM, Aceh telah berubah menjadi The Killing Field, dan keadilan pun pergi dari Bumi Para Ulama itu. Berbagai pola penyiksaan yang diterapkan militer, dari pembakaran dan penjarahan, hingga pelecehan seksual (bahkan perkosaan) sampai penghilangan hak hidup manusia.
Kekejian benar-benar menemukan bentuknya di Serambi Mekkah. Pada masa-masa suram ini, hampir saban hari bisa dipastikan ada mayat yang dibuang di tepi jalan. Seperti kutipan testimoni Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), T. Ibrahim Alfian kala itu mengungkapkan;
"Nuwun Sewu, Aceh itu terlalu besar sumbangannya bagi Republik ini. Kenapa dalam negeri pancasila ini semua bisa terjadi. Dan mengapa rakyat Aceh diperlakukan seperti itu? Itu kan bangsa kita sendiri! Ini tindakan yang fasistik, kejam, dan biadab. Mana hati nurani itu? Betul-betul saya sangat sedih. Apalagi karena saya tahu sejarah." (T. Ibrahim Alfian)
Sesungguhnya, pembantaian di Aceh bukanlah cerita baru, berbagai kisah memilukan yang menimpa masyarakat di Aceh selama kurun gelap sejarah perjalanan peradaban Aceh yang terjadi pada masa invasi Belanda, Jepang, juga Orde Lama dan Orde Baru.
Wilayah Aceh yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, dengan minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar.
Disanalah Bung Karno membakar semangat rakyat Aceh dengan pidatonya berapi-api di depan masjid raya Baiturrahman. Didasari persaudaraan se-muslim (Ukhwah Islamiyah), Para memimpin dan Ulama-ulama Aceh saat itu tergerak untuk membantu perjuangan Indonesia agar terlepas dari cengkeraman Belanda kembali.
Para pemimpin Aceh mulai membentuk suatu lembaga guna menggalang dana perjuangan RI, seluruh rakyat Aceh ikut andil mengumpulkan sumbangan dalam bentuk, Emas, Uang dan properti. Hingga terkumpullah dana yang sangat besar, selama Oktober-Desember 1949 terkumpul S$ 500 ribu. Saat itu, pemerintah Indonesia sudah nyaris bangkrut.
Tak hanya itu, kemudian rakyat Aceh mengumpulkan lagi 5 kilogram emas untuk membeli obligasi pemerintah untuk biaya kantor perwakilan Indonesia di Singapura, untuk Kedutaan Besar RI di India, serta biaya untuk L.N. Palar-duta besar Indonesia pertama di PBB (1950-1953)-di New York.
Ke mana saja uang S$ 500 ribu itu dibagikan? Antara lain untuk Angkatan Bersenjata (S$ 250 ribu), kantor pemerintah Indonesia (S$ 50 ribu), pengembalian pemerintah RI dari Yogya (S$ 100 ribu), dan S$ 100 ribu diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis. Ini belum lagi cerita dua pesawat pertama RI jenis Dakota yang juga dari sumbangan rakyat Aceh. Sekali lagi, saat itu Aceh (masih) bukan bagian NKRI. Sayangnya, semua itu berakhir dengan pengkhianatan.
Lalu, Apa kaitnya Aceh dengan Soeharto?
Catatan atas kejahatan HAM rezim Suharto juga dimulai dari wilayah paling barat negeri ini. Kejahatan HAM atas Muslim Aceh yang pertama kali diawali oleh VOC Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas lebih kejam lagi di masa kekuasaan Suharto.
Bahkan di zaman Jenderal Suharto-lah, Aceh yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI—dari segi finansial, sebab itu juga Aceh disebut sebagai ‘Lumbung Uang RI’—justru dijadikan 'lapangan tembak', bernama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.
Selama penerapan status DOM, Aceh telah berubah menjadi The Killing Field, dan keadilan pun pergi dari Bumi Para Ulama itu. Berbagai pola penyiksaan yang diterapkan militer, dari pembakaran dan penjarahan, hingga pelecehan seksual (bahkan perkosaan) sampai penghilangan hak hidup manusia.
Kekejian benar-benar menemukan bentuknya di Serambi Mekkah. Pada masa-masa suram ini, hampir saban hari bisa dipastikan ada mayat yang dibuang di tepi jalan. Seperti kutipan testimoni Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), T. Ibrahim Alfian kala itu mengungkapkan;
"Nuwun Sewu, Aceh itu terlalu besar sumbangannya bagi Republik ini. Kenapa dalam negeri pancasila ini semua bisa terjadi. Dan mengapa rakyat Aceh diperlakukan seperti itu? Itu kan bangsa kita sendiri! Ini tindakan yang fasistik, kejam, dan biadab. Mana hati nurani itu? Betul-betul saya sangat sedih. Apalagi karena saya tahu sejarah." (T. Ibrahim Alfian)
Tragedi Simpang KKA (1998) |
Sesungguhnya, pembantaian di Aceh bukanlah cerita baru, berbagai kisah memilukan yang menimpa masyarakat di Aceh selama kurun gelap sejarah perjalanan peradaban Aceh yang terjadi pada masa invasi Belanda, Jepang, juga Orde Lama dan Orde Baru.
Wilayah Aceh yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, dengan minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar.
Mobile Oil, perusahaan tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya
dan dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi
di dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di
tempat yang sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama
Samudera Pase berdiri, dan kini oleh Suharto diserahkan kekayaan alam
negeri ini yang sungguh besar kepada AS.
Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera,
suatu perusahaan minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur
minyak. Sumber gas alam yang ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih
kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk
ASEAN di Aceh hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia
diharapkan penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun.
Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA) juga sudah mulai memproduksi kertas
karung semen sejak 1989. Dari penghematan impor pembungkus semen saja
pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang ekspor
kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11
persen dari seluruh ekspor Indonesia.
Suharto tahu betul jika kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab
itu, dengan amat rakus rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan
alam ini. Ironisnya, nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari
eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta.
Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikannya ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang sah, tapi justru mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya.
Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikannya ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang sah, tapi justru mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya.
Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati
posisi provinsi ke-7 termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40
persen dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL
hanya 20% penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat
pasok air dari sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona
industri.
Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya menulis, “Friksi dan perbenturan
nilai pun terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Para migran
menenggak bir, berdansa-dansi, melambungkan harga-harga di pasar.
Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri
mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke
laut, merusak lahan nelayan.
Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal
merombak struktur perekonomian rakyat Acehsecara fundamental, karena ia
memang tak pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh”.
Inilah salah satu “hasil” pembangunan rezim Suharto di Aceh.
Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, “Pada tahun-tahun 1940-an para
ulama PUSA sudah kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh
Indonesia. Pada 1950, status Aceh sebagai provinsi dicabut dan dilebur
ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil, pertahanan, dan
perekonomian, diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas
perlakuan semacam ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya,
mengantar Aceh ke pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh.”
Di bawah rezim Suharto, jenderal ini membawa ideologi pembangunan dan
stabilitas politik, dan dengan kacamata kuda yang
“sentralistik-Majapahit”, Suharto mengangap sama semua orang, semua
daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Suharto menganggap
semuanya itu sama saja dengan “Majapahit”. Status “istimewa” sebagai
negeri Islam Aceh pun dihabisi.
Pakar HAM Nasional, Otto Syamsuddin Ishak dalam buku 'Aceh Merdeka dalam Perdebatan' menulis tertimoninya: "Aceh hanyalah sebuah sekoci dari 27 buah sekoci dalam kapal besar indonesia. Kalaulah memang sekoci itu tidak bisa dipakai lagi, tidak etis bila kapten dan awak kapal ramai-ramai menghancurkan sekoci itu. Dan jangan pula sekocinya diperlakukan tidak adil jika keadilan tidak bisa diberikan."
Pakar HAM Nasional, Otto Syamsuddin Ishak dalam buku 'Aceh Merdeka dalam Perdebatan' menulis tertimoninya: "Aceh hanyalah sebuah sekoci dari 27 buah sekoci dalam kapal besar indonesia. Kalaulah memang sekoci itu tidak bisa dipakai lagi, tidak etis bila kapten dan awak kapal ramai-ramai menghancurkan sekoci itu. Dan jangan pula sekocinya diperlakukan tidak adil jika keadilan tidak bisa diberikan."
Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana
tercantum dalam UU No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah,
pada kenyataannya keistimewaan Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas.
Gubernur dipilih hanya dengan persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa
menjabat dengan restu Golkar.
Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke Medan.
Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke Medan.
Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Suharto
mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu membaca
Al-Qur’an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat di Jakarta. Bahkan
Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki “penyelewengan” tersebut.
Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan
yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid
yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang dari peraturan tersebut.
Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di Aceh.
Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di Aceh.
Ted Robert Gurr dalam "Why Men Rebel? (Mengapa Orang Berontak?)" juga menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya
terancam oleh perkembangan baru. Aceh telah kehilangan sumber alamnya,
mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya,
anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya.
Sebab itu H.M Amien Rais (1999) pernah menyatakan:
“Kalau boleh berterus terang, Aceh ini sebagai salah satu daerah pemegang saham terbesar di Republik Indonesia. Maka sebagai pemegang saham terbesar, jika Aceh menarik sahamnya, tentu RI akan guncang seguncang-guncangnya. Apalagi kalau pemegang saham yang kecil-kecil pun ikut menjadi makmum, tentu kita akan mengucapkan: Innalillahi wa inna ilaihi rajiun buat Republik Indonesia.”
atjehcyber