BANDA ACEH - Rencana Pemerintah Pusat mengevaluasi sejumlah qanun termasuk Qanun Jinayat mendapat respons tajam dari kalangan ulama Aceh. Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk Bulqaini Tanjungan dengan tegas meminta Pusat untuk tidak mengutak-atik Qanun Jinayat.
Dalam siaran persnya kepada Serambi, Minggu (9/11), Tgk Bulqaini mengingatkan Pemerintah Pusat agar tidak mengulangi lagi apa yang dulu pernah menjadi sebab kekecewaan masyarakat Aceh.
“Mendagri harus sadar, gejolak yang pernah terjadi di Aceh dulu tidak lain terjadi oleh sebab kemunafikan-kemunafikan elite Pemerintah Pusat, yang dimulai sejak era Soekarno yang menipu masyarakat Aceh sehingga masyarakat Aceh terus mengenang sejarah itu sebagai sesuatu yang kelam,” tulis Tgk Bulqaini.
Mendagri, lanjutnya, juga harus sadar bahwa Aceh punya sejarah panjang dalam keislaman dan sebagai sebuah kerajaan besar yang pernah diakui dunia. Oleh sebab itu Mendagri harus menghormati qanun-qanun Aceh. Apalagi, tulisnya, seperti pengakuan banyak pakar hukum, penerapan qanun-qanun di Aceh seperti Qanun Jinayat tidak akan mengganggu NKRI.
“Tidak ada qanun-qanun itu yang bertentangan dengan konstitusi negara. Qanun-qanun yang dibuat di Aceh sepenuhnya dilindungi undang-undang,” imbuhnya.
Mendagri, ujar Tgk Bulqaini, harus memahami bahwa qanun-qanun yang akan dievaluasi itu lahir atas harapan masyarakat Aceh secara luas, sehingga tidak perlu terburu-buru membangun wacana evaluasi. “Kami juga berharap, Mendagri tidak perlu mendengar LSM-LSM yang alergi terhadap qanun-qanun Aceh karena mereka tidak mewakili masyarakat Aceh. Kalau Mendagri ingin dengar aspirasi masyarakat Aceh, dengarkan ormas-ormas berbasis kemasyarakatan yang memiliki massa yang jelas di Aceh,” tegasnya.
Oleh sebab itu, keinginan Mendagri untuk evaluasi qanun-qanun Aceh hendaknya bukan berujung pada penolakan karena hal itu akan memperkeruh damai Aceh. “Kita sudah cukup lelah dengan konflik-konflik. Jangan kita biarkan celah-celah konflik muncul lagi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh,” kata Sekjen HUDA tersebut.
Hal senada disampaikan Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) Aceh, Tgk Mustafa Husen Woyla. Menurutnya, rencana Mendagri mengevaluasi qanun-qanun Aceh sangat meresahkan masyarakat.
“Rencana itu sebenarnya membuat luka lama berdarah kembali sehingga bisa memicu konflik antara Aceh dengan Pusat. Padahal untuk mencapai perdamaian bukanlah perkara yang mudah,” tegas Tgk Mustafa dalam pernyataan tertulisnya.
Qanun Aceh yang hendak dievaluasi merupakan aspirasi rakyat Aceh yang menuai sejarah panjang yang akhirnya ditampung oleh Pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk regulasi yang sah. Memang, mengevaluasi peraturan daerah merupakan kewenangan Mendagri, namun, kata Tgk Mustafa, jangan lupa juga melihat kekhususan Aceh, yaitu di bidang agama, adat dan budaya.
“Masukan kepada Mendagri, kalau tidak mampu memperbaiki jangan memperkeruh dan memperuncing masalah Aceh dengan Pusat. Hati rakyat Aceh masih sensitif. Jadi mesti dijaga dan dirawat dengan baik,” pintanya.
Permintaan yang sama juga ditujukan kepada LSM yang dikatakannya anti-syariat, untuk tidak memperkeruh suasana. “Bila perlu, Pemerintah Aceh mengevaluasi serta mengawasi LSM yang mendapatkan suntikan dana dari pihak asing. Jangan-jangan ada misi menggagalkan syariat Islam di Aceh. Bila LSM-LSM yang ada di Aceh kurang senang dengan syariat Islam, bumi masih luas, silakan cari negara mana yang cocok dengan habitat Anda. Jangan cari keuntungan dengan mencari-cari kelemahan syariat Islam di Aceh,” pungkas Tgk Mustafa Husen Woyla.(yos)
sumber : aceh.tribunnews
0 comments:
Post a Comment
komentar anda...