brat ipoh :D

Latest News

Senyum Abadi 'Gam Cantoi'

(In Memoriam Muhammad Sampe Edward S.)  

Oleh Muhammad Yakub Yahya

“Muhammad Sampe Edward S, kartunis Gam Cantoi di Serambi Indonesia (SI) meninggal dunia pukul 18.50 WIB di RS Herna, Medan. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.”

DEMIKIAN satu pesan pendek (SMS) yang disampaikan oleh seorang teman, masuk ke handphone saya, usai shalat Isya, Sabtu (30/1/2013). Saya pun kemudian membalas SMS tersebut dengan ucapan: “Allaahumaghfir lahuu warhamhuu wa `aafihii wa’fu `anhuu., amin,” untuk almarhum Muhammad Sampe Edward Sipahutar, yang tak lain adalah juga Wali Santri kami. Seorang putra almarhum, Alwafi Hafizan (16 tahun), buah pernikahannya dengan drh Cut Intan Manfadzi, pernah menjadi santri di TPQ Baiturrahman, Banda Aceh.

Dulu, celoteh Gam Cantoi karya Sampe Edward di Serambi Indonesia, sering menggelitik kita, di teras rumah, ruang kantor, atau meja kedai kopi. Bagi sebagian pembaca, eksistensi dan ulah Gam Cantoi itu memang tuntutan, dan tontonan. Tersenyum dulu bersama tingkah polah Gam Cantoi di bawah halaman Opini “harian nasional Aceh” ini, baru mengerutkan kening, `melahap’ rubrik lain. Memulai kerja dengan seulas senyuman memang akan membantu hidup di tengah dunia yang semak dengan ketegangan. Senyuman akan mengurangi gejala sakit jantung. “Lebih sedikit butuh otot untuk tersenyum, dari pada untuk cemberut,” papar para pakar.

Kata bersayap
Gam Cantoi mengritik kita dengan kata bersayap (poh sampéng), timbal balik, umpan balik, membahani pembaca media, termasuk kalangan media itu sendiri, tidak lain dimaksudkan untuk mengoreksi diri, untuk berubah. “Orang yang berbicara kepada Anda tentang orang lain disebut penggosip; orang yang berbicara kepada Anda tentang dirinya adalah orang yang membosankan; sedangkan orang yang berbicara tentang Anda adalah orang yang cerdas,” kata Lisa Kirk.

Karena itu, Lord Chesterfield berpesan: “Anakku, beginilah cara membuat orang menyukaimu. Buatlah setiap orang lebih menyukai dirinya, bahkan sedikit saja, dan aku berani menjamin bahwa ia akan sangat menyukaimu.” Semua dimulai dengan kata-kata, dan grafis.

“Keramahan dalam tutur kata menciptakan percaya diri, keramahan dalam berpikir menciptakan kesempurnaan, keramahan dalam memberi melahirkan kasih,” ujar Lao-Tse.

Begitulah, Gam Cantoi yang lazim tampil dengan kain sarung pendek, mungkin sering “menampar sebelah pipi” di antara kita. Misal Sabtu (7/1/2011) dia ikut `kumpulkan’ sandal buat Aal, anak yang sekolah tak bersandal. Dia menyahuti fenomena dan kegilaan kita. Sekali atau berulang kali `ditampar’, kita boleh-boleh saja tersinggung. Tertawa memang ada yang sinis, masam, sindiran, cibiran, dan dipaksakan. Tawaan begini biasa memang tak baik. Apalagi terbahak kayak iblis. Tapi senyum dikulum, spontanitas, tulus, atau cuma dalam hati, ini biasa masih lumrah dan indah.

Kelewatan emosional dalam merespons kritik --misalnya atas sindiran goresan grafis karikatur-- itu bukan perangai pembaca koran yang bijaksana. “Dipandang baik kita yang lambat marah, tapi cepat redup,” pesan seorang dosen akhlak. “Daripada cepat marah, cepat reda; cepat marah, lambat reda; atau lambat marah, lambat reda, itu jangan!” tambah guru mahasiswa itu. Gam Cantoi memang realistis.

Agam --sang lelaki yang setia merawat sehelai rambut di atas dahi-- itu sosok realis. Si Agam itu orang. Wartawan juga manusia, bukan titisan dewa, bukan anak Tuhan. Namun pers yang cerdas (fathanah), pewarta (tabligh) yang kredibel (amanah), informan yang akurat (shidiq), dan seterusnya itu selalu tuntunan. Era kenabian memang sudah usai, tapi misi nubuwah (profetik) tak akan mati.

Nabi yang datang dengan bahasa kaum, sejak Adam as itu, mengabarkan berita besar, dengan media lisan dan tulisan hingga Muhammad saw. Buat umat yang varian. Menurut dinamika alam, iklim. Sesuai era yang diemban, diutus. Para nabi membawa obor penerang, membimbing insan dalam kegelapan setiap zaman, juga guru. Pers mestinya juga begitu.

Kekelaman sejarah setiap kurun yang berbeda, menuntut misi kenabian searus dengan masanya. Andai kini akan lahir seorang nabi yang akan menggandengkan tangan ulama dan pers, niscaya dia juga mungkin akan terpesona dengan gemerlapnya modernisasi, riuhnya informasi. Karena era yang dilalui mereka sangat bervariasi dalam kultur dan struktur yang beragam, maka mukjizat para nabi akan mewarnai kekhasan itu.

Merenungi kehebatan petuah Luqmanul Hakim, power Zulqarnain, ketegaran Ashabul Kahfi, pedang Thalut, kearifan Khaidir as, keperihan Zulaikha, kebersahajaan Balqis, kezuhudan Maryam, atau heroisme Khadijah ra, melengkapi benturan langkah nabi di masa itu, dengan warnanya. Alquran yang berbicara lewat lidah manusia agung, dari Padang Sahara, di akhir zaman, juga mukjizat Allah di masa itu, hari ini, dan nanti yang sangat formalistik dan retorik, juga ia fleksibel dan dinamis.

Komunikasi jurnalistik, dalam desk mana pun --kota, politik (hankam), ekonomi, daerah, olahraga-- mestinya juga sinkron dan sewarna dengan komunikasi pembaca. Lewat media cetak, elektronik, dan dunia maya. Reportase dan rubrikasi, lewat lisan dan tangan laki-laki dan perempuan, di bawah, konon, ada 40-an institusi pers itu, mesti serasi dengan kebutuhan pirsawan, di bilik dan kamar-kamar rumah.

Memang nabi membawa berita besar, wartawan hanya berita kecil: soal uang, koruptor, listrik, air, harga, gempa, tabrakan, pemilu, tembakan dan lain-lain. Headline para Rasul diutus ke sebuah komunitas menginformasikan berita langit: maut, kubur, dan kiamat. Tak ada yang lebih besar dari info dahsyat itu. Berita besar (an-naba’), di awal juz ke 30, satu dari seratusan nama surat Alquran. Penyaji risalah agung itu dinamakan an-nabi. Jadi nabi ialah jurnalis atau wartawan di masanya, bahkan melebihi label itu. Dalam makna tertentu.

 Jurnalis profetik
Kode etik jurnalis yang profetik (nubuwah), di antaranya, menyampaikan kabar yang benar secara cerdas. Rambu pemberitaan ini diramu dari karakter para nabi yang terpercaya, jujur, dan mencerahkan. Kualitas dan kualifikasi diri wartawan terus dituntut oleh dinamika zaman. Sebab profesi pemberita ini, ditekan oleh waktu dan keadaan. Santai dan menunda, bukan karakter wartawan. Deadline menanti kesegeraan. Para nabi dulu, tak banyak tidur malam, hanya isirahat siang, demi dakwah ilahi.

Dunia nabi, tak jelas siang dan malam. Ini juga tipe ideal seorang khalifah di dunia, terus berbuah, kontinyu menebar kabar, tak henti mengubah keadaan. Sedikit telat bangun, lambat menyampaikan, tak akan diterbitkan, tak dibaca umat. Ritme nabi adalah perubahan, anti kemapanan. Semua nabi diutus melawan tiran. Deklarasi dewan pers, semoga banyak makna bagi kita yang baru dihantam bala, untuk mengubah keadaan. Untuk pengambil kebijakan. Apa makna hidup, jika tanpa pernah berubah.

Tatkala Gam Cantoi --lelaki yang lasak (agam cabak atau cantoi) yang didesain Sampe-- itu menyindir kehidupan kita, tak lantas kita menyimpan dendam, demi perubahan. Setiap kali dia telah mengabarkan kita potret hidup segelintir saudara kita, pascatsunami, pada sebagian lain. Dia adalah simbol dan wajah kita. Gam Cantoi bersama anak-anak dan isteri tercinta --yang wajahnya mirip serupa itu-- menertawakan kita.

Potret Gam Cantoi adalah ketekunan, terus beramal, secara cerdas. Meski, kini kita tak akan pernah melihat lagi Gam Cantoi, namun kritik nakal dan ‘sosok’-nya yang jenaka seakan membuat kita terus tersenyum. Selamat jalan Bang Sampe Edward, Gam Cantoi, semoga senyummu tetap abadi, selamanya di sisi-Nya. Amin.

* Muhammad Yakub Yahya, Direktur TPQ Baiturrahman Banda Aceh, dan Staf Subbag Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Aceh. Email: m.yakubyahya@yahoo.co.id
Editor : bakri  tribunnews
no image
  • Open ID Comments
  • Facebook Comments
Top