“Pada tahun 2007, 34% kasus HIV di Jakarta terjadi pada waria. Artinya, satu di antara tiga orang waria sudah terinfeksi HIV/AIDS, terutama mereka yang masih remaja,” kata Ienez Angela, koordinator advokasi dan keanggotaan GWL-INA.
GWL-INA adalah singkatan dari Jaringan Gay, Waria dan Lelaki yang berhubungan Seks dengan Lelaki lain di Indonesia (GWL-INA), organisasi yang melakukan advokasi terhadap permasalahan gay, waria, dan biseksual. Saat ini, organisasi ini telah memiliki 64 cabang yang tersebar di 24 propinsi di Indonesia. Dari sekitar 700 ribuan orang gay dan waria di Indonesia, hanya sepuluh persennya saja yang dapat terwadahi oleh GWL-INA.
Kerentanan remaja gay atau waria terkena HIV/AIDS adalah karena rendahnya kesadaran menggunakan alat kontrasepsi ketika berhubungan seksual. Resiko yang ditakutkan dari berhubungan seksual umumnya adalah takut hamil. Karena hubungan seksual dilakukan secara anal, mereka berpikir tidak akan hamil, padahal resiko kesehatannya jauh lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan remaja gay dan waria masih rendah.
“Program KB di Indonesia memang jauh lebih pesat perkembangannya dibanding program penanggulangan HIV/AIDS,” kata Tono Permana, koordinator nasional GWL-INA. “Padahal. GWL-LSL muda sudah aktif secara seksual sejak berusia 18 – 20 tahun. Sedangkan kebanyakan di antara mereka sudah mulai berhubungan seksual sejak berusia 15-16 tahun, dan banyak di antara mereka yang tidak mengunakan kondom.”
“Program-program yang ada masih parsial. Kemenkes memang mendorong pelayanan penyakit infeksi menular seksual di puskesmas untuk umum, tapi masih belum bersahabat untuk waria, gay, dan biseksual,” katanya kepada detikhealth, Selasa (4/10/2011), disela-sela Pertemuan Nasional AIDS IV 2011 di Yogyakarta.
Tono memaparkan bahwa di Jakarta saja, hanya klinik milik PKBI yang menjadi andalan untuk layananpenyakit menular seksual dan HIV/AIDS bagi waria dan gay. Hal ini tak lepas dari stigma negatif masyarakat yang masih melekat pada kaum waria dan gay. Untung saja, beberapa tahun terakhir mulai muncul klinik swasta yang melayani gay, di antaranya dalah Klinik Angsa Merah. Selain itu, ada juga RS St. Carolus yang menawarkan layanan one stop service mengenai kesehatan seksual terhadap kaum waria dan gay. Sedangkan di Bali, ada Bali Medika yang memberikan pelayanan kesehatan serupa.
Kelompok-kelompok radikal di kota besar seperti Jakarta juga rentan menyulut konflik dengan kaum minoritas ini. Akibatnya, beberapa remaja gay dan waria semakin cenderung menutup diri untuk mencari pelayanan kesehatan yang tepat. Tak hanya itu, Tono juga menyoroti kurangnya penelitian mengenai HIV/AIDS di kalangan gay dan waria. Hampir selama dua puluh tahun penanggulangan HIV/AIDS, sangat kurang dijumpai program-program pemerintah yang menyentuh gay dan waria.
“Kebijakan HIV/AIDS juga belum berprespektif jender, artinya banyak pelayanannya yang belum ramah jender. Masih banyak terlontar pernyataan-pernyataan yang diskriminatif dari petugas,” pungkas Ienez.
by;detik
0 comments:
Post a Comment
komentar anda...