Oleh Thayeb Sulaiman (*
Malam, 2 Juni 2012, sekira pukul 23.00 WA, Saya terkejut dan malu saat ditanya Dr Mehmet Ozay –seorang peneliti independen dari Turki yang sangat tertarik dengan sejarah Aceh- melalui chatting gmail.com.
“Besok, tepat dua tahun meninggalnya Hasan Tiro, apakah Saudara Thayeb menulis sesuatu untuknya di website Aceh Independent?” Tanyanya.
Saya tidak langsung menjawab seraya mencari di google.com, melihat tanggal berapa Sang Wali Hasan Tiro meninggal, ternyata 3 Juni 2010. Maka saya termenung sesaat dan berkata dalam hati, “Dr Mehmet Ozay, ternyata memang sangat peduli dan tahu tentang Aceh. Saya orang Aceh sendiri tidak teringat akan tanggal amat bersejarah tersebut.”
Maka saya menulis balasan chatting, “Sebentar lagi akan saya tulis, dan besok saya postingkan di website acehindependent.com.” Saya berpikir, ini adalah tanggung jawab saya sebagai orang Aceh. Dan saya mulai menulis artikel ini dini hari sekira pukul 3.30 WA 3 Juni 2012 selama satu jam lebih. Belum selesai. Saya lanjutkan tulisan ini pada pukul 16.00 WIB atau pukul 4 sorenya. Lalu berhenti sejenak.
Ketika pada pukul 18.30, saya mau menyelesaikan tulisan ini untuk segera mempostkannya, saya melihat email masuk yang dikirim pukul 15.55 WA oleh Dr Mehmet Ozay, isinya, ia telah mengirim tulisannya tentang Hasan Tiro ke media online Turki dan telah dimuat, ini alamat situsnya: http://www.dunyabulteni.net/?aType=haber&ArticleID=212369. Sementara saya masih harus menyelesaikan tulisan tentangnya dan mempublikasikan setelah pukul 19.00 WA tanggal 3 Juni 2012.
Percakapan melalui tulisan chatting malam tadi, terus berlanjut dengan rencana, atas nama organsisasi Pusat Kebudayaan Aceh Turki (PuKAT) yang didirikannya, ingin mengadakan beberapa kegiatan berbentuk seminar besar di Banda Aceh. Seminar berskala besar tersebut melibatkan semua unsur di Aceh, tentang sosial dan peradaban. Untuk menyukseskan seminar ini, perlu kami ajak kerjasama Kedutaan Besar Turki, lebih mulia lagi dengan menghadirkan Duta Besar Turki untuk Indonesia. Itu baru rencana.
Anehnya lagi, saat saya menghadiri acara resepsi di rumah produser Film Komedi Aceh Eumpang Breueh Din Kramik, siang 3 Juni 2012, salah seorang teman yang pada 31 Maret lalu saya libatkan dalam diskusi publik ‘Memperingati 501 Tahun Kesultanan Aceh Darussalam,’ bertanya tentang kelanjutan diskusi tersebut yang saya janjikan tempo hari akan dilanjutkan dengan skala besar dengan waktu berhari, berminggu, berbulan dan bertahun. Maka, saya terpaksa mengatakan program seminar besar yang disampaikan Dr. Mehmet Ozay. Ini memang terkait, karena diskusi ‘Memperingati 501 Tahun Kesultanan Aceh Darussalam,’ saya laksanakan berawal dari ‘teguran’ Dr Mehmet Ozay juga, pada akhir 2009. Maka tentang itu kita cukupkan dulu.
Kembali ke perihal mengenang 2 tahun perginya Sang Wali Yang Mulia Hasan Tiro (3 Juni 2010 – 3 Juni 2012). Sang Wali, adalah Pembaharu Aceh. Ketika orang Aceh tenggelam dalam kubang kelupaan sejarah, muncullah Sang Wali memberi kabar, membuka mata orang Aceh.
Orang seperti Sang Wali Hasan Tiro hanya dilahirkan satu orang dalam kurun waktu seratus tahun. Begitulah adat dunia. Saya tidak pernah berjumpa dengan Sang Wali, walau buku tulisannya seperti ‘Jum Meurdehka’ (harga sebuah kemerdekaan -red), Masa Depan Politik Dunia Melayu, Demokrasi Indonesia, pernah saya baca.
Dari beberapa tulisan Sang Wali, saya rangkumkan bahwa beliau amat tulus dalam mengangkat martabat Aceh. Dari sejarah dan pola gerakan yang beliau laksanakan, saya nilai bahwa beliau mengerti seni perang dengan sempurna. Suharto yang berupa musuh terbesar beliau adalah orang yang cerdas pula. Semua musuh politik Suharto dapat diatasi dengan baik, apakah ditangkap atau lainnya. Namun Sang Wali tidak bisa disentuh oleh Suharto karena beliau telah memetakan dengan baik apa yang akan beliau laksanakan. Sang Wali menguasai dengan baik apa yang dimasudkan Jenderal Sun Tzu dari Cina dalam buku ‘Seni Berperang.’
Tentu, orang-orang yang hidup sekarang belum mampu mengerti sepenuhnya yang diserukan oleh Sang Wali semasa hidupnya. Kita belum cukup pengetahuan. Dari semua yang saya pelajari, saya berkesimpulan bahwa kekuatan sang Wali adalah penguasaan tentang sejarah dan sanggup menyakinkan orang lain tentang yang beliau yakini itu. Kekuatannya bukan pada uang atau senjata.
“Seujarah leubeh teuga nibak peudeueng, leubeh teuga nibak beude (sejarah lebih kuat daripada pedang, lebih kuat daripada bedil),” ucap Sang Wali dalam sebuah rekaman yang saya tidak tahu di mana itu sekarang, persis dengan buku-buku yang saya sebutkan tadi, tidak tahu ke mana rimbanya. Maksud Sang Wali dalam ucapan tersebut, untuk membuat sebuah bangsa berani dan mampu menuntut haknya adalah dengan membuat mereka menguasai sejarah, bukan dengan memberikan pada mereka pedang atau bedil.
Jika dirunut dalam abad ini, maka Sang Wali adalah orang paling berpengaruh dalam sejarah Aceh pada akhir abad XX dan awal abad XI Masehi. Nama beliau setingkat pentingnya dengan Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Iskandar Muda, Laksamana Keumala Hayati, Sultanah Safiatuddin.
Saya berani menyamakan tingkat beliau dengan indatu-indatu tersebut karena puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun ke depan, orang-orang akan menulis dalam buku sejarah bahwa sambungan sejarah Aceh, setelah Sultan Aceh Terakhir, ada Wali Neugara Aceh Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman, dan dibangkitkan kembali oleh Sang Wali Hasan Tiro.
Beliau juga berhasil membangkitkan kembali bendera Kesultanan Aceh Darussalam dan mencitakan variasi sejarah dalam bendera tersebut sehingga, bendera yang tadinya persis bendera Turki bertambah garis hitam dan putih.
Artinya, Sang Wali adalah seniman besar juga. Selain itu, Sang Wali juga penulis besar, tulisan-tulisannya telah berhasil membuat ribuan orang berperang menuntut haknya. Bahkan buku-buku best seller dunia yang ditulis penulis terkenal dan pemenang nobel dunia sekalipun jarang yang bisa memberikan pengaruh pada bangsanya atau pada umat manusia.
Saya lebih cenderung menilai Sang Wali dari segi intelektual dan strategi gerakan daripada lainnya seperti dalam perang. Jika merunut adat dunia dan manusia, sebuah generasi dihitung dalam kurun duapuluh tahun, selebihnya telah bisa dihitung ke generasi lain. Maka, proklamasi Gerakan Aceh (GAM) pada 4 Desember 1976 oleh Sang Wali Hasan Tiro, difokuskan berhasil pada 4 Desember 1996.
Nah, kita semua masih ingat apa yang terjadi sekitar tahun 1990-an. Reformasi Indonesia terjadi pada 1998. Aceh pun bergejolak, muncullah perang gerilya besar, yang berakhir 2005. Keadaannya beda total dengan sepuluh tahun sebelumnya. Itu terjadi tepat menjelang 10 tahun setelah 1996.
Kita tahu, dalam sejarah Aceh setelah ultimatum perang oleh Belanda pada 26 Maret 1873, kurun perang terjadi selang sepuluh sampai lima belas tahun. Jika tidak ada perang maka perubahan total terjadi dalam kurun tersebut. Ini berarti, ramalannya begini, karena pada 2005 Aceh terjadi peristiwa besar yakni penadatanganan MoU damai total antara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka pada 2015 ada peristiwa amat besar terjadi lagi, apakah itu lebih damai atau kurang damai.
Prediksi saya, peristiwa besar di Aceh yang akan terjadi pada seputaran tahun 2015 akan menguntungkan dan mengangkat martabat Aceh. Saya cenderung mengatakan ini karena arah sejarahnya demikian. Rakyat Aceh masih harus mengobati kepedihan dan kepiluan akibat dari perang berkepanjangan, Jakarta sekarang dan ke depan harus menjaga keamanan nasional dari ancaman gangguan negara luar yang mungkin sedang ingin menguasai perairan Indonesia, apalagi di tapal batas.
Bila dilihat dari arah permainan sekarang, kemungkinannya, tidak ada perang di Aceh selama sepuluh sampai duapuluh tahun ke depan. Yah, Sang Wali telah pergi, berganti wali, sementara sang Raja belum jua pulang. (*/AcehIndependent)
0 comments:
Post a Comment
komentar anda...