“KARYA terakhir Bang Sampe ini saya temukan dalam laci saat saya bersih-bersih. Karya ini saya kira berguna untuk diketahui masyarakat bahwa Bang Sampe sangat rindu melepas karyanya menghibur publik,” tutur Cut Intan Manfadzi.
Saat dihubungi redaksi Serambi Banda Aceh, Selasa (2/4) petang, tampak sekali istri almarhum Muhammad Sampe Edward itu berusaha keras menahan tangisnya di ujung telepon selular agar tidak pecah. Tampaknya Cut Intan tak mudah melupakan almarhum suaminya yang telah menemani hidupnya dengan penuh suka cita selama 19 tahun.
Karikatur terakhir ini dibuat Sampe Edward awal Desember 2012, mengisahkan tentang pengalamannya (dalam personifikasi Gam Cantoi) untuk pertama kali diinfus setelah menjalani kemoterapi, 25 Juli 2012.
Sampe Edward memang sangat takut disuntik, sehingga saat itu ia sempat membujuk perawat agar diinjeksi dengan jarum bayi saja.
Namun, perawat tidak mengabulkan permintaannya itu. Sang perawat menawarkan kiat agar Sampe Edward menutup matanya saja. Saat itulah perawat berhasil menyuntikkan jarum infus dan kemudian memasang selang infus di tangannya.
Sikap penakutnya Sampe Edward terhadap jarum suntik berbanding terbalik dengan postur tubuhnya yang tinggi besar. Sebelumnya orang pasti mengira bahwa ia pemberani, termasuk terhadap jarum suntik. Dulu berat badan Gam Cantoi mencapai 90 kg, namun ketika didera penyakit badannya menyusut pelan-pelan hingga tersisa 42 kg.
Begitupun, di saat-saat sakit Sampe Edward beberapa kali berusaha untuk “menghidupkan” kembali Gam Cantoi. Semua itu dilakukan karikaturis andalan Serambi ini untuk menjawab kerinduan publik terhadap karyanya yang tiba-tiba hilang selama ia dirawat karena menderita kanker kelenjar endokrin (tiroid) di lehernya, kemudian merambat ke hati, seterusnya menjalar ke seluruh paru-paru.
Namun, keinginannya itu tidak tercapai. Tangan sang Maestro ternyata sudah tak kuat lagi menggoreskan lukisan karikatur Gam Cantoi. Bahkan, karyanya yang terakhir itu tidak sanggup pula ia cat sempurna, sehingga hanya bisa selesai yang berbentuk kerangkanya saja.
“Abang itu orangnya baik sekali. Selama kami berumah tangga sejak 1994 sekali pun ia tak pernah memarahi saya juga anaknya. Allah berhendak lain. Ia telah mengambil Abang dari kehidupan kami,” kisah Cut Intan. Kali ini tangisnya benar-benar meledak, sehingga perbincangan dengan redaksi sempat tertahan beberapa kali.
Cut Intan memang sangat setia merawat suaminya yang mulai sakit sejak Juni 2012. Beberapa kali awak redaksi Serambi mengunjungi Sampe di rumah sakit sedikit pun tidak terlihat Cut Intan mengeluh. Bahkan, saat terakhir redaksi mengunjungi Sampe Edward, Kamis (28/3) malam, Cut Intan ditemukan sedang membacakan Yasin di telinga suaminya yang saat itu memang sudah terbaring lemah di Kamar B3 Murai II Rumah Sakit Herna, Medan.
Sampe Edward yang merupakan seorang mualaf saat itu terlihat sangat tenang mendengar lantunan Surah Yasin yang dibacakan istrinya tercinta. “Maafkan saya tidak bisa bekerja (masuk kantor -red) selama ini. Sampaikan salam saya untuk teman-teman di Banda Aceh. Nanti kalau sudah agak sehat, saya akan berobat ke Malaysia,” kata Sampe Edward kepada redaksi Serambi Banda Aceh. Kala itu ia masih sadar, namun suaranya sudah sangat lemah.
Dan, itulah rupanya pertemuan terakhir Sampe Edward dengan awak redaksi Serambi. Ia mengembuskan napas terakhir dua hari kemudian, tepatnya Sabtu (30/3), pukul 18.50 WIB di RS Herna, Medan.
“Maafkan Abang (Gam Cantoi -red) jika selama ia berkarya sempat menyinggung atau menyakiti hati orang, baik ia sengaja atau itu. Mungkin Abang tidak sempat meminta maaf di hari-hari terakhir hidupnya,” pinta Cut Intan berulang-ulang. Namun, kali ini suaranya sudah mulai tenang. Semoga arwah almarhum Sampe Edward pun tenang di sisi Allah Swt. (bukhari m ali)
Editor : bakri tribunnews