Hasan Rohani terpilih sebagai
Presiden Iran yang baru. Ia berhasil menangguk 50,7 persen suara dari 17
juta pemilih pada pemilu yang digelar Jumat kemarin, dan diumumkan
Sabtu (14/6). Ia mulai berkantor pada Agustus mendatang.
Rohani berhasil memikat suara
pemilih dari kalangan kelas menengah yang menilainya sebagai ulama
moderat. Rohani yang sudah lama berseberangan dengan Presiden Mahmud
Ahamdinejad.
Seminggu setelah Ahamadinejad
duduk di kursi presiden pada 2005, Rohani menyatakan sikapnya mengenai
program nuklir Iran dan mengundurkan diri sebagai negosiator nuklir
Iran. Ia merasa tidak cocok dengan filosofi Ahamdinejad yang dianggapnya
terlalu bersemangat untuk mengobarkan perang.
Ia dikenal dekat dengan
mentornya, bekas Presiden Iran Akbar Hashemi Rafsanjani yang juga musuh
bebuyutan Ahmadinejad. Rohani, 64 tahun, bakal meneruskan program nuklir
Iran tapi, pada saat yang sama, diharapkan bisa mengendurkan ketegangan
dengan Barat.
“Rafsanjani adalah satu-satunya
pilihan yang bisa menyemangati kaum reformis,” ujar Rasol Nafisi, analis
masalah-masalah Iran di Stayer University di Virginia, AS. “Rohani
mendapat dukungan karena dia dianggap sebagai orangnya Rafsanjani,
selayaknya memilih Rohani sama saja dengan memilih Rafsanjani,” katanya.
Rohani tampil di muka publik,
sementara Rafsanjani yang sudah sepuh ada di belakang layar sebagai
godfather dan pelindung. Dalam perundingan nuklir Iran yang macet
berkali-kali pada tahun lalu, kini kemungkinan Rafsanjani akan
mempersenjatai Rohani dengan sejumlah taktik yang jitu.
Dalam kampanyenya, Rohani sudah
bulat menggalang “interaksi konstruktif dengan dunia” termasuk upaya
meredakan ketegangan dengan Barat terkait program nuklir dan menghapus
sanksi internasional yang memporak porandakan perekonomian Iran. Rohani
yakin Iran hanya perlu reaktor nuklir untuk keperluan listrik dan
aplikasi medis.
“Kita tak membiarkan delapan
tahun yang kelam terus berlanjut,” ujar Rohani pekan lalu kepada para
pendukungnya yang merujuk pada kebijakan Ahmadinejad. “Mereka mengenakan
sanksi terhadap kita, namun mereka justru bangga. Saya ingin melakukan
rekonsiliasi dan perdamaian. Kita juga ingin berrekonsiliasi dengan
dunia,” ujarnya.
Rohani, satu-satunya ulama yang
berkompetisi bersama lima calon presiden lainya, mulai belajar ilmu
agama saat remaja. Ia kemudian menjadi lawan Shah Iran yang didukung
Barat, dan kerap menggelar orasi yang menarik perhatian Ayatullah
Ruhullah Khomeini, pemimpin revolusi Islam 1979.
Rohani menyelesaikan studinya di
Universitas Teheran pada 1972. Ia melanjutkan studi S-2 nya di Glasgow
Caledonian University dan mendapat gelar master dalam bidang hukum.
Ketika Iran bergejolak, ia pergi ke Prancis dan menemani Khomeini di
pengasingan bersama Rafsanjani.
Setelah revolusi, Rohani cepat
populer dengan berbagai peran, termasuk mereorganisasi militer, menjadi
anggota parlemen dan mengontrol radio dan televisi Iran yang kelak
menjadi corong Khomeini.
Ia memperkuat hubungannya dengan
Rafsanjani pada perang Iran-Iraq 1980-88, dan kemudian menjadi
penasihat keamanan nasional Rafsanjani selama memimpin Iran pada
1987-97. Ia tetap dipakai Presiden Mohammad Khatami yang menunjuknya
menjadi negosiator nuklir pertama Iran.