TAKENGON – Sejumlah elemen masyarakat di Dataran Tinggi Gayo (DTG) menolak pengukuhan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe
(WN). Penolakan itu, bukan hanya disampaikan oleh masyarakat Gayo, tapi
juga oleh mantan kombatan di daerah penghasil kopi tersebut. “Malik
Mahmud tidak mampu mempersatukan Aceh secara keseluruhan karena
kemampuannya belum sebanding dengan Hasan Tiro,” kata mantan tokoh GAM,
Linggadinsyah, Sabtu (14/12), dalam jumpa pers yang berlangsung di Hotel
Darussallam, Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.
Dalam jumpa pers yang juga dihadiri sejumlah tokoh Gayo itu, Linggadinsyah, menilai, pengukuhan Malik Mahmud sebagai WN, hanya menguntungkan sejumlah kelompok. “Semestinya, orang yang menjadi WN, benar-benar sosok yang bisa menjadi panutan serta mempersatukan Aceh secara keseluruhan mulai dari Aceh Barat Selatan, Tengah, dan Timur Aceh. “Kita tidak menolak WN, namun sosok yang menjadi WN itu, harus benar-benar figur yang kompeten,” jelasnya.
Pada sisi lain, Linggadinsyah mewakili teman-temannya menambahkan, semestinya, penetapan WN bisa dilakukan secara demokrasi dengan mengakomodir semua kepentingan masyarakat Aceh. Bukan malah terkesan dipaksakan hingga akhirnya melahirkan diskriminasi terhadap sebagian masyarakat lain di Aceh.
Forum itu juga mengklaim jika pengukuhan Malik Mahmud sebagai WN tetap dilakukan, akan terjadi blunder sejarah. Sementara itu, salah seorang tokoh KP3 ALA, Syukriansyah menambahkan, pengukuhan Malik Mahmud, sebagai Wali Nanggroe, telah memicu ketersinggungan masyarakat di dataran tinggi Gayo. Pasalnya, masyarakat Gayo, tidak diberi ruang dalam persoalan itu karena adanya diskriminasi dari pemerintah Aceh. Karenanya forum itu menyatakan akan menolak kehadiran Malik Mahmud di Tanah Gayo.
Mereka yang hadir dalam forum tersebut antara lain, Ketua Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MANGO) M Jusin, mantan tokoh GAM, Linggadinsyah, tokoh KP3 ALA, Syukriansyah, serta peserta lainnya.
Kembalikan undangan
Sementara itu Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) seperti diakui ketuanya Safaruddin SH, mengaku telah mengembalikan undangan dari panitia pengukuhan, yang mengundang pihak YARA untuk hadir pada acara pengukuhan WN, Senin (16/12) besok. “Qanun lembaga Wali Nanggroe belum memenuhi aspek historis, filosofis, yuridis, politis, sosiologis, teknis maupun administratif. Legislatif dan Eksekutif Aceh mengabaikan legal drafting perundang-undangan,” tulis Safaruddin, dalam rilisnya, kemarin.
Safaruddin selaku ketua YARA yang juga tenaga ahli pada komisi F DPRA itu mengembalikan undangan pengukuhan WN sebagai bentuk penolakan terhadap pengukuhan WN tersebut.
Kami menilai pengukuhan tersebut bertentangan dengan :
1. Aspek historis, bahwa dalam literatur sejarah kerajaan Aceh tidak ada struktur WN, bahkan kami telah melakukan cek ke Musieum Aceh di Belanda melalui jaringan YARA di Belanda dan ahli sejarah yang ada di Aceh, sehingga secara Administratif Pemerintahan posisi WN ini tidak tau harus diposisikan dimana.
2. Aspek filosofis, bahwa Aceh adalah daerah yang adat istiadatnya sangat kental dengan keislaman, bahkan hal tersebut telah terbentuk dalam hadih maja “hukum ngen adat lagee dzat ngen sifet”, yang bermakna hukum dan adat seperti zat dan sifat, artinya Qanun WN yang akan dibentuk di Aceh sebagai representasi adat istiadat harus bersendikan nilai-nilai keislaman, dan nilai keislaman ini tidak tertuang di dalam Qanuan WN seperti meniadakan pembacaan Al Quran kepada calon WN.
3. Aspek politis, bahwa WN yang dibentuk oleh DPRA masih mendapat pertentangan yang luas oleh masyarakat Aceh, seharusnya DPRA memperhatikan aspirasi ini dan bila perlu membuat jajak pendapat/referendum seperti yang pernah disampaikan oleh ketua Banleg DPRA dalam prokontra Qanun bendera dan lambang.
4. Aspek Yuridis, bahwa DPRA tidak punya kewenangan secara hukum untuk melakukan pelantikan WN, dalam UU DPRA hanya melakukan paripurna Istimewa untuk melantik kepala daerah yang dilantik oleh pemerintah pusat melalui Mendagri. Bahkan Qanun WN yang menjadi dasar adanya WN pun belum dijalankan sesuai dengan koreksi Mendagri.
Dalam jumpa pers yang juga dihadiri sejumlah tokoh Gayo itu, Linggadinsyah, menilai, pengukuhan Malik Mahmud sebagai WN, hanya menguntungkan sejumlah kelompok. “Semestinya, orang yang menjadi WN, benar-benar sosok yang bisa menjadi panutan serta mempersatukan Aceh secara keseluruhan mulai dari Aceh Barat Selatan, Tengah, dan Timur Aceh. “Kita tidak menolak WN, namun sosok yang menjadi WN itu, harus benar-benar figur yang kompeten,” jelasnya.
Pada sisi lain, Linggadinsyah mewakili teman-temannya menambahkan, semestinya, penetapan WN bisa dilakukan secara demokrasi dengan mengakomodir semua kepentingan masyarakat Aceh. Bukan malah terkesan dipaksakan hingga akhirnya melahirkan diskriminasi terhadap sebagian masyarakat lain di Aceh.
Forum itu juga mengklaim jika pengukuhan Malik Mahmud sebagai WN tetap dilakukan, akan terjadi blunder sejarah. Sementara itu, salah seorang tokoh KP3 ALA, Syukriansyah menambahkan, pengukuhan Malik Mahmud, sebagai Wali Nanggroe, telah memicu ketersinggungan masyarakat di dataran tinggi Gayo. Pasalnya, masyarakat Gayo, tidak diberi ruang dalam persoalan itu karena adanya diskriminasi dari pemerintah Aceh. Karenanya forum itu menyatakan akan menolak kehadiran Malik Mahmud di Tanah Gayo.
Mereka yang hadir dalam forum tersebut antara lain, Ketua Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MANGO) M Jusin, mantan tokoh GAM, Linggadinsyah, tokoh KP3 ALA, Syukriansyah, serta peserta lainnya.
Kembalikan undangan
Sementara itu Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) seperti diakui ketuanya Safaruddin SH, mengaku telah mengembalikan undangan dari panitia pengukuhan, yang mengundang pihak YARA untuk hadir pada acara pengukuhan WN, Senin (16/12) besok. “Qanun lembaga Wali Nanggroe belum memenuhi aspek historis, filosofis, yuridis, politis, sosiologis, teknis maupun administratif. Legislatif dan Eksekutif Aceh mengabaikan legal drafting perundang-undangan,” tulis Safaruddin, dalam rilisnya, kemarin.
Safaruddin selaku ketua YARA yang juga tenaga ahli pada komisi F DPRA itu mengembalikan undangan pengukuhan WN sebagai bentuk penolakan terhadap pengukuhan WN tersebut.
Kami menilai pengukuhan tersebut bertentangan dengan :
1. Aspek historis, bahwa dalam literatur sejarah kerajaan Aceh tidak ada struktur WN, bahkan kami telah melakukan cek ke Musieum Aceh di Belanda melalui jaringan YARA di Belanda dan ahli sejarah yang ada di Aceh, sehingga secara Administratif Pemerintahan posisi WN ini tidak tau harus diposisikan dimana.
2. Aspek filosofis, bahwa Aceh adalah daerah yang adat istiadatnya sangat kental dengan keislaman, bahkan hal tersebut telah terbentuk dalam hadih maja “hukum ngen adat lagee dzat ngen sifet”, yang bermakna hukum dan adat seperti zat dan sifat, artinya Qanun WN yang akan dibentuk di Aceh sebagai representasi adat istiadat harus bersendikan nilai-nilai keislaman, dan nilai keislaman ini tidak tertuang di dalam Qanuan WN seperti meniadakan pembacaan Al Quran kepada calon WN.
3. Aspek politis, bahwa WN yang dibentuk oleh DPRA masih mendapat pertentangan yang luas oleh masyarakat Aceh, seharusnya DPRA memperhatikan aspirasi ini dan bila perlu membuat jajak pendapat/referendum seperti yang pernah disampaikan oleh ketua Banleg DPRA dalam prokontra Qanun bendera dan lambang.
4. Aspek Yuridis, bahwa DPRA tidak punya kewenangan secara hukum untuk melakukan pelantikan WN, dalam UU DPRA hanya melakukan paripurna Istimewa untuk melantik kepala daerah yang dilantik oleh pemerintah pusat melalui Mendagri. Bahkan Qanun WN yang menjadi dasar adanya WN pun belum dijalankan sesuai dengan koreksi Mendagri.