Pemerintah dan Pemerintah Aceh memelihara dan mengusahakan pengembalian benda-benda sejarah yang hilang atau dipindahkan dan merawatnya sebagai warisan budaya Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
- UU RI No 11 Tahun 2006, pasal 222, ayat 1.
Aceh yang memiliki benda-benda masa silam yang amat bernilai, membutuhkan banyak museum untuk menyimpan kitab-kitab masa silam (manuskrip) yang masih ada dan benda-benda keras masa silam (artefak) baik berbentuk logam, batu, dan sebagainya. Aceh juga harus menata ulang dan merawat banyak situs bersejarah.
Kembalikan Meuriam Lada Sicipak
Dan, sudah masanya bagi Pemerintah Aceh untuk membawa pulang sekalian harta warisan seperti manuskrip, artefak, dan sekalian benda bersejarah milik Aceh yang kini berada di luar negeri, seperti meriam Lada Sicupak pemberian Ottoman Turkish (Turki Utsmani) pada 1560-an yang diambil oleh Belanda sekitar 1870-an. Sudah masanya semua benda-benda itu dibawa pulang ke Aceh.
Semenjak Undang-Undang (UU) tersebut disahkan, belum ada satu museum pun yang dibangun, sementara uang APBA bertrilyunan Rupiah diberikan. Ini menandakan, pemerintahan semenjak dipimpin Irwandi-Nazar dan kini Zaini-Muzakir belum melestarikan kebudayaan sebagaimana diamanahkan oleh UU. Ini menjadi masalah bagi pelestarian budaya bangsa.
Sekarang mari kita pelajari UU berikut. Di dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, Tentang, Pemerintahan Aceh, Bab XXXI tentang Kebudayaan, Pasal 221, ayat 2 menyatakan “Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota mengikutsertakan masyarakat dan lembaga sosial.”
Sejauh ini, setiap kegiatan tentang kebudayaan yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat dan lembaga sosial di bidang kebudayaan. Hal ini mengakibatkan terjadinya kesalahan karena dilakukan asal jadi oleh orang-orang terdekat dengan satuan pemerintah yang melaksanakannya. Itu melanggar demokrasi dan UU.
Sebagai contoh terdekat, pelaksanaan PKA (Pekan Kebudayaan Aceh ) ke 6 pada September 2013, melanggar UU UU Nomor 11 Tahun 2006, Pasal 221, ayat 2. Di dalamnya tidak dilibatkan oraganisasi kebudayaan, juga isi aaranya banyak yang menistai kebudayaan. Itu memalukan.
Dan, kita tidak berencana menuntut pemerintah Aceh dalam hal yang sudah terjadi tersebut. Kita ingin semenjak sekarang, semua dijalankan dengan benar dan dimusyawarahkan sebelumnya. Kita mempertanyakan tentang kepatutan orang-orang yang diperbantukan pada bidang kebudayaan di dalam pemerintah Aceh, baik di kegubernuran mahupun di DPR Aceh.
Di dalam Pasal 221, ayat 5 dan Pasal 222, ayat 2 menerangkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatur dengan Qanun Aceh.”
Dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh sebaiknya segera membuat qanun tersebut di dengan melibatkan beberapa oranisasi kebudayaan yang dapat dipercaya dan telah melakukan banyak hal, bukan memakai orang yang pandai bercakap tetapi tidak memiliki hasil kerja yang nyata dan kurang berkarya.
Apabila qanun itu sudah ada, kami ingin melihatnya, apabila belum, mohon segera dibuat di dalam 2014. Ini perihal penting, menyangkut hal menjalankan UU negara dan menyelamatkan kebudayaan bangsa.
Oleh Thayeb Loh Angen | Koordinator pembentukan
majelis bersama antar organisasi kebudayaan di Aceh yang terbentuk pada
29 Zulhijjah 1434 H/4 Nopember 2013. Anggotanya: CISAH (Central
Information for Samudera Pasai Heritage), Mapesa (Masyarakat Peduli
Sejarah Aceh, Rumoh Manuskrip Aceh, Lembaga Budaya Saman, Yayasan
Bustanussalatin, Pusat Seni Unsyiah, PuKAT (Pusat Kebudayaan Aceh-Turki), dll.