Abby Martin, presenter Russia Today yang berada di Washington DC
terang-terangan mengecam Amerika Serikat terkait agresi Israel di Jalur
Gaza.
Pertama, ia mengkritik keras pemberitaan media Negeri Paman Sam yang dinilainya tak adil. Hanya memberitakan dari satu sisi: kepentingan negeri zionis, bukan fakta korban-korban yang jatuh di pihak Palestina.
Hal kedua yang ia kecam adalah pendekatan pemerintah AS dalam krisis tersebut. Yang hanya mengutuk serangan roket Gaza ke Israel, tapi tak menyerang tindakan Israel yang membombardir wilayah pesisir itu dengan artileri yang jauh lebih canggih.
Abby Martin, saat sedang siaran, tak ragu mengekspresikan opininya terkait serangan yang dilakukan Israel. "Hanya ada dua pilihan bagi rakyat Palestina di wilayah yang diduduki: menyerah kalah atau melawan dan berjuang seperti yang kita saksikan saat ini," kata dia, seperti Liputan6.com kutip dari Al Arabiya, Sabtu (12/7/2014).
"Aku merasa muak menyaksikan saudara-saudara kita di Palestina kehilangan keluarga dan kerabat setiap kali Israel melakukan pelanggaran terbuka terhadap orang-orang tak bersalah yang terpaksa tinggal dalam sebuah penjara terbuka."
Apa yang dikatakan Abby Martin benar. Gaza adalah sebuah penjara terbuka.
Warganya hidup bertahun-tahun dalam kondisi kekurangan pangan dan obat. Diblokade, dan dicekam teror serangan yang tak bisa ditebak kapan datang. Belum lagi mengatasi penduduk yang makin bertumbuh.
Bahkan laporan PBB menyebut, Jalur Gaza akan menjadi kawasan yang "tak layak huni" pada 2020, kecuali ada tindakan untuk meningkatkan layanan dasar masyarakat di sana.
Dan kini, dengan dalih membalas tembakan roket Hamas, Israel melakukan serangan membabi buta ke Gaza, menerapkan hukuman kolektif terhadap seluruh warga.
Akibatnya, fatal. Sudah 112 nyawa melayang, hanya dalam 5 hari diberlakukannya Operasi Protective Edge. Mayoritas korban adalah warga sipil, termasuk bocah-bocah polos yang seharusnya memiliki masa depan yang panjang. Berapa nyawa lagi harus melayang hingga dunia bertindak?.
(*RT/al-arabiya/lip6)
Pertama, ia mengkritik keras pemberitaan media Negeri Paman Sam yang dinilainya tak adil. Hanya memberitakan dari satu sisi: kepentingan negeri zionis, bukan fakta korban-korban yang jatuh di pihak Palestina.
Hal kedua yang ia kecam adalah pendekatan pemerintah AS dalam krisis tersebut. Yang hanya mengutuk serangan roket Gaza ke Israel, tapi tak menyerang tindakan Israel yang membombardir wilayah pesisir itu dengan artileri yang jauh lebih canggih.
Abby Martin, saat sedang siaran, tak ragu mengekspresikan opininya terkait serangan yang dilakukan Israel. "Hanya ada dua pilihan bagi rakyat Palestina di wilayah yang diduduki: menyerah kalah atau melawan dan berjuang seperti yang kita saksikan saat ini," kata dia, seperti Liputan6.com kutip dari Al Arabiya, Sabtu (12/7/2014).
"Aku merasa muak menyaksikan saudara-saudara kita di Palestina kehilangan keluarga dan kerabat setiap kali Israel melakukan pelanggaran terbuka terhadap orang-orang tak bersalah yang terpaksa tinggal dalam sebuah penjara terbuka."
Apa yang dikatakan Abby Martin benar. Gaza adalah sebuah penjara terbuka.
Warganya hidup bertahun-tahun dalam kondisi kekurangan pangan dan obat. Diblokade, dan dicekam teror serangan yang tak bisa ditebak kapan datang. Belum lagi mengatasi penduduk yang makin bertumbuh.
Bahkan laporan PBB menyebut, Jalur Gaza akan menjadi kawasan yang "tak layak huni" pada 2020, kecuali ada tindakan untuk meningkatkan layanan dasar masyarakat di sana.
Dan kini, dengan dalih membalas tembakan roket Hamas, Israel melakukan serangan membabi buta ke Gaza, menerapkan hukuman kolektif terhadap seluruh warga.
Akibatnya, fatal. Sudah 112 nyawa melayang, hanya dalam 5 hari diberlakukannya Operasi Protective Edge. Mayoritas korban adalah warga sipil, termasuk bocah-bocah polos yang seharusnya memiliki masa depan yang panjang. Berapa nyawa lagi harus melayang hingga dunia bertindak?.
(*RT/al-arabiya/lip6)