Beirut – :"Dia hanya
berjalan di malam hari, di antara pohon-pohon, di pegunungan, mengenakan jaket hitam dan celana hitam. Dia tidak pernah menolak dalam hidupnya. Dia selalu menggunakan setiap kesempatan untuk datang melihat kami, meskipun mata-mata menyebar di mana-mana dan penjajah Zionis menunggunya setiap saat."
Begitulah Ummu Bara menuturkan sebagian kehidupan sang
arsitek pertama di Brigade al Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan
Islam Hamas, asy Syahid Yahya Ayyasy. Dia mengatakan, “Kami menghabiskan
waktu selama lima tahun menjadi buron. Selama itu, jarang sekali muncul
di siang hari. Itu adalah hari-hari yang sangat sulit. Tidak ada yang
bisa dimakan, tidak ada pakaian bagus yang dikenakan. Seharipun dia
tidak peduli dengan penampilannya. Obsesi terbesarnya adalah hanya
menimpakan kerugian paling besar pada penjajah Zionis.”
Mengenang 18 tahun kepergian suaminya, Ummu Bara
teringat beberapa peristiwa yang masih melekat dalam ingatannya di
hari-hari sebagai buron. “Komandan (Zionis) yang menyerbu rumah kami
masih saya ingat namanya, Sveka. Suatu kali mereka menyerbu rumah kami
setelah aksi yang dilakukan Yahya di Tel Aviv. Mereka sangat liar dan
brutal. Saat itu sang komandan berkata kepada saya, ketika kami nanti
membunuh Yahya, saya akan mengikat tubuhnya dengan mobil saya dan saya
seret di jalan-jalan Tel Aviv, setelah itu saya potong-potong tubunya
menjadi bagian kecil-kecil untuk saya bagikan kepada semua keluarga
‘Israel’ yang anggota keluarganya dibunuh Yahya untuk mereka makan.”
Dalam pertemuan khusus dengan koresponden Pusat
Informasi Palestina, Ummu Bara menambahkan, “Dia mengatakan hal itu
untuk membuat ketakutan di hati kami. Tapi saya menjawabnya dengan
mengatakan, jasad tidak penting bagi dia setelah apa yang dia dapatkan
setelah kematiannya. Ruhnya akan naik ke langit di sisi Penciptanya dan
akan damai. Saya berdoa kepada Allah semoga kalian tidak pernah
menemukan meski mayatnya sekalipun.”
Di suatu hari selama menjadi buron, tepatnya di malam
hari pelaksanaan aksi syahid oleh Shaleh Shawi di Tel Aviv, saya
terbangun karena ada ketukan pelan pada jendela kamar saya. Saya lihat
ternyata dia adalah Yahya dan asy Syahid Saad Arabid dari Jalur Gaza.
mereka mengenakan pakaian serba hitam dan membawa senjata mereka. Saat
itu pula berkecamuk perasaan saya. Saya sangat merindukan Yahya tapi di
saat yang sama saya mengkhawatirkan dia menjadi target mata-mata dan
Yahudi.”
Dia melanjutkan, “Saya bukakan pintu rumah. Keduanya
masuk setelah menyembunyikan jejak kakinya di luar rumah. Karena jejak
sapatu keduanya nampak jelas dan dalam di tanah yang berlumpur. Setelah
masuk, dia meminta saya untuk membangunkan Bara (anaknya) untuk
melihatnya. Kala itu adalah pukul satu lewat tengah malam. Dia gendong
Bara, dia peluk dan dia ciumi. Saya masih ingat betul, saat itu dia
sangat bahagia sekali karena keberhasilan aksi kepahlawanan di Tel
Aviv.”
Dia menambahkan, “Setelah meninggalkan rumah, saya
segera membersikan dan merapikan rumah dari jejak kaki keduanya khawatir
diserbu militer penjajah Zionis. Dan betul, pada malam itu, setelah
Yahya dan Saad keluar, mereka menyerbu rumah dan melakukan intimidasi
sebagaimana yang biasa kami alami.”
Keberadaannya di Gaza
Sebagian besar waktu selama menjadi buron, Yahya
menghabiskannya berpindah-pindah di pegunungan Tepi Barat, di
bukit-bukitnya, lembah-lembahnya dan gua-guanya. Sampai-sampai terjadi
ikatan kerindungan di sana. Meskipun Jalur Gaza sempat memuliakannya dan
melindunginya sekitar setahun sebelum kesyahidannya (mati syahid).
Namun di hari-hari terakhir dia kembali ke pegunungan Tepi Barat.
Mengenai hal itu Ummu Bara mengatakan, “Pada
bulan-bulan terakhir keberadaan kami di Jalur Gaza, Yahya menghabiskan
malam Kamis setiap pekan dekat pagar pimisah, berusaha memotong-motong
kawat dengan peralatan yang dia ciptakan. Dia memotong kawat-kawat
tersebut tanpa memicu sirine (yang diipasang Zionis) berbunyi.”
Dia melanjutkan, “Di hari-hari terakhirnya dia
berharap kembali ke Tepi Barat karena tekanan terhadapi dari penjajah
Zionis dan Otoritas Palestina. Juga kerena penyebaran fotonya kepada
orang-orang agar menyampaikan keberadaannya dan tidak memberikan tempat
bernaung. Dia sudah terbiasa menjadi buron di pegunungan dan gua-gua di
Tepi Barat, dan itulah yang tidak ada di Jalur Gaza.”
Hari Keyahidannya
Ummu Bara mengatakan, “Hari pertama kesyahidan Yahya
tidak berat bagi saya sebagimana juga di hari kedua. Di hari pertama
saya tidak percaya apa yang telah terjadi, meskipun kami sudah
memperkirakan berita ini akan kami terima kapan saja.”
Dia melanjutkan, “Di hari kedua, tepatnya ketika saya
melihat jasad Yahya yang diusung di atas pundak orang-orang, saya
melihatnya sebagai pandangan perpisahan di depan gelombang manusia. Saya
berteriak dan berkata: hari ini saya melihatmu secara terang-terangan
di depan semua manusia. Aduhai, alangkah sedangnya bila kau masih hidup
dan aku melihatmu meskipun dalam sembunyi-sembunyi.”
Dengan linangan air mata penuh kesedihan karena
perpisahan dia mengatakan, “Saya berharap bisa mati syahid bersama
Yahya. Suatu kali saya pernah berdoa di depannya, agar suatu hari kami,
saya, dia dan Bara mati syahid bersama-sama. Namun dia justru mengangkat
kedua tangannya ke langit dan berdoa: Ya Allah jangan Engkau kabulkan
untuknya, ambillah aku sebagai mati syahid sendirian. Biarkanlah Ummu
Bara tetap hidup untuk mendidik kedua anak ini.”
Tiga hari setelah kesyahidan suaminya, ummu Bara
banyak menangis. Dia menolak kembali ke Tepi Barat. Di Gaza dia
mendapatkan kasih sayang, cinta dan dekapan hangat untuk dirinya, Yahya
dan Bara serta anak bayinya “Yahya”, yang lahir ke dunia sepekan sebelum
kepergian sang ayah. Namun akhirnya dia kembali ke Tepi Barat dan
melanjutkan tugasnya mendidik anak-anaknya. Yang hari ini dia lihat di
depan kedua matanya sebagai pemuda yang sosoknya mirip dengan ayah
mereka. (asw)infopalestina