“Melalui pengeras suara, saya mendengar kastam minta kami mengumpulkan duit 300 ringgit per orang,” katanya. -
HARI sudah
petang tatkala Mustafa merapat ke sebuah kebun sawit di tepi sungai Langat,
Selangor, Malaysia. Pada Selasa 17 Juni 2014 itu, bujangan berusia 24 tahun ini
datang ke situ guna berkumpul dengan warga Aceh lainnya. “Kami hendak
bersama-sama pulang ke Aceh,” kata warga Idi Rayeuk, Aceh Timur, ini kepada
ATJEHPOST, melalui sambungan telepon internasional tadi pagi.
Di kebun
sawit, Mustafa melihat sudah banyak warga Aceh yang berkumpul. “Puluhan wanita,
dan ada anak kecil berusia sekitar tiga tahun juga,” katanya. Mereka semuanya
akan menumpang Tongkang Jeti Kelanang untuk menyeberang lautan menuju tanah
kelahiran mereka di Aceh.
“Saya sudah
20 bulan merantau ke Malaya ini, sebelumnya saya jualan ikan di Kuala Idi,”
katanya. Adalah kesulitan ekonomi di Aceh yang membuatnya bergerak ke Malaysia.
“Di sini saya kerja apa saja yang penting halal. Ini sudah mau dekat bulan
ramadhan, saya ingin berkumpul bersama orang tua di kampung,” katanya.
Kultur orang
Aceh memang di setiap ramadhan memilih menjalankan ibadah puasa di kampung
halamannya. Apalagi dalam menyambut ramadhan ada budaya meugang yang sudah
begitu mendarah daging bagi orang Aceh. Itulah yang ingin dijalani Mustafa dan
puluhan orang Aceh yang berkumpul di kebun sawit itu. Mereka akan bersama-sama
menumpang tongkang dengan biaya 650 ringgit per kepala untuk menyeberang ke
Aceh.
Sesuai janji
tekong, tongkang akan diberangkatkan pukul 21.00. Usai shalat isya mereka
satu-satu menaiki kapal kayu itu. Usai menaikkan penumpang, tongkang melaju perlahan
melalui sungai Langat. Tak berapa lama, Mustafa melihat sebuah kapal kastam
(customs) mengejar mereka. “Mereka memerintahkan tongkang berhenti,” katanya.
Tekong, kata
Mustafa, menghentikan tongkang di kuala Langat. “Dia buru-buru bersalin pakaian
agar serupa dengan penumpang tongkang seperti kami, dia takut ditangkap
kastam,” katanya. Melalui pengeras suara, petugas customs memerintahkan tekong
untuk naik ke kapal mereka. Namun tak ada yang merespon.
Kemudian,
customs menerbitkan ancaman, bahwa setiap orang yang masuk ke ruangan mesin
dianggap sebagai tekong. Kapal customs melaju mengitari tongkang. Di dalam
tongkang, penumpang bergantian ke ruangan mesin menahan gas agar mesin tak
mati. “Lalu saya mendengar suara tembakan,” kata Mustafa.
Tongkang
bocor, maka mereka yang silih berganti ke ruangan mesin memperbesar gas untuk
memacu penyedot air dalam tongkang yang disemprot ke laut. “Melalui pengeras
suara, saya mendengar kastam minta kami mengumpulkan duit 300 ringgit per
orang,” katanya. "Uang itu untuk diserahkan kepada mereka."
Kapal kastam
mulai menabrak tongkang. Tongkang terguncang. Air laut pun mulai masuk.
Mustafa merasakan tabrakan itu adalah bentuk ancaman yang lebih serius lagi.
Mereka di dalam kapal mengumpulkan duit. Ternyata tabrakan dilakukan
berkali-kali. Penumpang kapal panik, di antaranya ada yang sudah terjun ke
laut.
Perlahan-lahan
tongkang tenggelam. Penumpang terjun bebas menyelematkan diri. “Mereka ada yang
berusaha naik ke kapal kastam, namun dipukuli dan dibuang ke laut lagi,” katanya.
Saat
tongkang tenggelam, kata Mustafa, kapal kastam pergi meninggalkan mereka. “Saya
dapat meraih satu drum oli dan mengapung di laut,” katanya. Dari sini dia
menyaksikan perbuatan yang dilakukan oleh petugas kastam. “Saya juga melihat
beberapa saat setelah meninggalkan tongkang tenggelam, kapal itu kembali lagi
ke lokasi dan mulai menaikkan penumpang yang berada dalam laut ke kapal
mereka,” katanya. “Seolah-olah mereka hendak menyelamatkan kami.”
Mustafa
lebih memilih mengapung dengan drum oli dan mengayuhnya ke daratan. “Pagi pukul
sekitar pukul 05.00 WIB, saya sudah di daratan. Di sana ada warga kampung yang
menyelamatkan kami,” katanya. Hanya sampai di situ cerita yang disaksikan
Mustafa.
Selebihnya
Mustafa mendapatkan info dari teman-temannya, bahwa sebagian dari mereka ada 14
orang yang meninggal tenggelam. Selebihnya ada yang selamat dan dijebloskan ke
dalam tahanan. Sebagian lagi bersembunyi dari kejaran aparat kemanana Malaysia.
Tentu cerita
Mustafa ini tak akan sama dengan pernyataan resmi dari aparatur pemerintahan
Malaysia. "Kami mendapat informasi dari Agensi Penguatkuasa Maritim
Malaysia (APMM) bahwa ada kapal yang diperkirakan mengangkut pekerja asal
Indonesia tenggelam di perairan Kuala Langat," kata Sekretaris III
Konsuler KBRI Kuala Lumpur, Alia Fitrati, kepada wartawan, Rabu, 18 Juni 2014.
Disampaikan juga, bahwa ada dugaan kapal ini mengangkut TKI ilegal. Alasannya,
kapal ini melintasi jalur tikus.
Otoritas
Malaysia mengatakan mereka adalah pekerja ilegal di Malaysia yang tidak memiliki
dokumen perjalanan apapun. "Beberapa korban selamat mengatakan sedang
dalam perjalanan pulang ke Aceh," kata Mohamad Hammbali Yaakup, Kepala
Badan Keamanan Laut Malaysia di Port Klang kepada sejumlah wartawan dalam
sebuah temu pers.
Adapun
Pemerintah Aceh sampai hari ini masih berpegang pada keterangan resmi dari
Pemerintah Malaysia. “Kami menunggu kesaksian langsung dari korban atau
pernyataan resmi dari Pemerintah Pusat,” kata Kepala Biro Humas Pemerintah
Aceh, Murthalamuddin, kepada ATJEHPOST Minggu tengah malam, 22 Juni 2014.
“Kami fokus
dulu pada pengembalian jenazah dan korban-korban yang masih hidup itu ke Aceh,”
kata Murthala. “Jadi kami belum bisa bersikap untuk informasi itu,” kata
Murthala lagi. “Kami belum mau menanggapinya.”
Memang sejak
peristiwa tongkang tenggelam, Pemerintah Aceh sudah membuka Posko Pengaduan dan
Informasi Kapal Tenggelam. Dari sini mereka menjaring berbagai informasi.
Pemerintah Aceh juga berupaya mengembalikan jenazah penumpang tongkang itu ke
kampung halamannya masing-masing.
Bahkan
Gubernur Zaini Abdullah sudah mengirim utusannya ke Malaysia untuk mengurus
segala kepentingan mengenai warga Aceh yang ikut dalam tongkang yang tenggelam
itu. Salah seorang yang dikirim ke Malaysia adalah Said Rasul, Kepala Badan
Penanggulangan Bencana Aceh.
Sejak
kemarin, beberapa jenazah sudah tiba di Banda Aceh. Wali Nanggroe Aceh Malik
Mahmud Al-Haytar bersama Gubernur Zaini Abdullah langsung menyambut dan
membantu mengangkat peti jenazah yang diturunkan dari pesawat. Gubernur
menyatakan Pemerintah Aceh menanggung segala biaya pemulangan jenazah dan
menyantuni keluarga korban.
Berbagai
informasi soal tenggelamnya tongkang itu tentu saja sampai ke Pemerintah Aceh,
terutama melalui Posko Pengaduan dan Informasi Korban Kapal Tenggelam di Biro
Humas Pemerintah Aceh. Termasuk cerita tentang proses tenggelam kapal
sebagaimana diceritakan Mustafa tadi.
“Kami
menerima cerita yang sama dari keluarga kami yang ada di dalam tongkang itu.
Saat kejadian dia menelepon kami, dan bercerita dalam kondisi sedang kalut.
Lalu teleponnya terputus,” katanya kepada petugas posko. Dari Posko, dia
mendapat data bahwa keluarganya selamat.
Ia merasa
lega, walau tak bisa menjalankan ibadah puasa bersama-sama. “Biarlah mereka
menjalankan ibadah puasa di perantauan, yang penting mereka sehat-sehat saja.”
Mustafa saat
bicara dengan ATJEHPOSTcom, juga mengabarkan dirinya sehat-sehat saja. Saat
ini, katanya, dia masih bersembunyi. “Saya menjalankan puasa ramadhan sambil
bersembunyi saja di sini. Kalau kondisi sudah agak tenang, saya akan cari kerja
lagi buat ongkos pulang ke Aceh,” katanya.
Suara
Mustafa terdengar mulai serak. Sejenak terdiam. Lalu ia mengakhiri pembicaraan.
“Assalamualaikum.” []
atjehpost
atjehpost