JAKARTA - Ketika
zaman Orde Baru, pers Indonesia bagaikan dibungkam seribu bahasa oleh penguasa
sehingga tidak ada kebebasan sama sekali. Namun ketika zaman Reformasi, terjadi
euforia kebebasan pers sampai-sampai melebihi kebebasan pers di negara-negara
liberal.
“Kita
sekarang sedang hidup di tengah kebebasan pers yang luar biasa. Tidak ada era
yang melebihi kebebasan pers sebagaimana sekarang. Kita sudah nyaris sama
dengan pers di negara-negara liberal, seperti Amerika Serikat, Inggris dan
lainnya. Apapun bisa diberitakan dan apapun fit to print atau fit to inform”.
Hal itu
dikatakan Sekjen Kemenag Prof Dr Nur Syam saat memberikan sambutan pada
pelantikan wartawan koordinatoriat Kementerian Agama (Kemenag) di Jakarta,
baru-baru ini.. Turut hadir Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenag, Zubaidi
dan pengurus PWI Pusat, Kamsul Hasan.
Dikatakannya,
sekarang semuanya menjadi well informed. Semuanya dianggap sebagai informasi
yang baik. Itulah sebabnya, dirinya membagi ada dua jenis pers dewasa ini,
yaitu: pers konstruktif dan pers dekonstruktif.
Menurutnya,
pers konstruktif adalah pers yang menjunjung tinggi etika pers dengan
mengedepankan etika pemberitaan yang bernilai positif berbasis pada kebenaran.
Pers yang semacam ini akan menghasilkan citra positif terhadap apapun yang
diberitakannya. Di dalam beritanya ada nilai kepatutan dan kepantasan.
Pers konstruktif,
kata Nur Syam, tidak melakukan pembunuhan karakter dan juga menjunjung tinggi
nilai kebebasan yang bertanggungjawab. Filsafat dasarnya adalah pers berbasis
pada sistem pertanggungjawaban sosial.
Sedangkan
pers dekonstruktif atau yang di beberapa negara lain disebut sebagai pers
kuning. Dikatakan Nur Syam, pers dekonstruktif memberitakan hal-hal yang tidak
memiliki nilai manfaat yang memadai bagi pemberdayaan dan pengembangan
institusi atau masyarakat.
“Pers
seperti ini lebih banyak memberitakan sisi negatif pemberitaannya. Pers ini
lebih banyak memberikan informasi tentang isu atau sensasi yang tentu saja
belum memperoleh justifikasi kebenaran dari sumber beritanya,” tegas Nur Syam.
Dikatakannya,
di tengah kebebasan pers yang luar biasa, seringkali pemberitaan lebih mengarah
kepada hal-hal yang memojokkan, menuduh dan bahkan memfitnah. Sebab falsafah
dasar pers dekonstruktif adalah freedom of speech atau libertarian mutlak.
“Saya
berharap pers Indonesia mengedepankan peran pemberitaan yang mendidik (to
educate) meskipun juga ada unsur menghiburnya (to entertain),” ujarnya.
Baginya, setiap yang mendidik pasti basisnya adalah etika dan moralitas. Jadi
pers yang diharapkan oleh lembaga atau organisasi adalah pers yang mendidik
agar menjadi lebih baik. (Abdul Halim/Voa-Islam