London
- Pengesahan qanun tentang komisi kebenaran di Provinsi Aceh pada
Desember 2013, merupakan sebuah langkah bersejarah menuju upaya
penyelesaian impunitas atas pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan
selama masa konflik Aceh.
Amnesty International menyerukan
pemerintah pusat untuk memberikan dukungan penuh bagi pembentukan komisi
semacam ini sesuai dengan standar dan hukum internasional, untuk
memastikan kebenaran, keadilan, dan reparasi bagi para korban konflik
dan keluarganya.
Hal itu disampaikan oleh Josef Roy
Benedict, juru kampanye Indonesia dan Timor Leste Amnesty International,
dalam rilisnya kepada AtjehLINK, Kamis (09/01/2014).
Sebagaimana diketahui, pada 27 Desember
2013, setelah delapan tahun dikampanyekan oleh kelompok-kelompok HAM dan
organisasi-organisasi korban, dan juga upaya besar dari parlemen Aceh,
qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh. Qanun ini sudah diajukan kepada pemerintah pusat
Kementerian Dalam Negeri untuk persetujuan sebelum berlaku.
“Pembentukan komisi ini telah dimasukan
dalam Perjanjian Damai Helsinki 2005 dan Undang-Undang No. 11/2006
tentang Pemerintahan Aceh. Namun demikian minimnya kemauan politik dan
juga kegagalan pemerintah pusat untuk mengesahkan sebuah komisi
kebenaran nasional, setelah yang ada dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
di tahun 2006, menunda pembentukannya hingga bertahun-tahun,” ujarnya.
Menurut Amnesty International,
pembentukan komisi kebenaran merupakan sebuah langkah penting menuju
pemahaman akan situasi yang menyebabkan pelanggaran HAM masa lalu, dan
menjadi pelajaran dari masa lalu untuk menjamin bahwa
kejahatan-kejahatan semacam itu tidak akan dilakukan lagi, dan menjamin
bahwa pengalaman-pengalaman berbagi bersama yang ada diakui dan dirawat.
Selama kunjungan-kunjungan ke Aceh di
tahun 2012 dan 2013, Amnesty International bertemu para korban dari
berbagai wilayah di Aceh, yang menceritakan kepada organisasi ini mereka
masih menuntut untuk mengetahui kebenaran tentang pelanggaran HAM yang
dialami mereka. Amnesty International juga bertemu dengan para anggota
keluarga korban, khususnya mereka yang dibunuh atau dihilangkan, yang
ingin mengetahui nasib dan keberadaan mereka yang dicintainya.
“Amnesty International mendesak baik
kepada pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk menjamin qanun komisi
kebenaran ini diimplementasikan pada kesempatan sesegera mungkin. Dan
memastikan komisi ini bekerja sesuai dengan standar dan hukum
internasional,” imbuh Josef Roy Benedict.
Amnesty International juga menyerukan
pemerintah pusat untuk mengesahkan undang-undang tentang komisi
kebenaran dan rekonsiliasi yang baru, agar para korban pelanggaran HAM
masa lalu yang lain seperti pada peristiwa 1965- 66, kerusuhan Mei 1998,
dan konflik-konflik di Papua dan Timor-Leste (dulunya Timor-Timur) juga
mendapatkan kebenaran, keadilan, dan reparasi.
Upaya-upaya untuk memberikan efek kepada
hak-hak korban atas kebenaran harus membentuk bagian dari kerangka
pertanggungjawaban yang lebih luas di Indonesia. Upaya-upaya tersebut
tidak boleh menjadi pengganti pertanggungjawaban sistem pemidanaan untuk
menginvestigasi dan jika bukti-bukti yang bisa digunakan ada mengadili
mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang serius dan
kejahatan-kejahatan di bawah hukum internasional, dalam peradilan yang
adil tanpa penggunaan hukuman mati.
Amnesty Internasional menilai,
penanganan kejahatan-kejahatan masa lalu semacam ini tidak hanya
menyumbang untuk mengobati luka terbuka dari penduduk sipil, namun juga
akan membantu penguatan supremasi hukum di negeri ini yang bisa membantu
jaminan proses perdamaian dalam jangka panjang.
Untuk Qanun KKR Aceh, Amnesty
International menyambut baik ketentuan-ketentuan di dalam qanun komisi
kebenaran Aceh ini, yang menjamin independensi Komisi ini dan
menyediakan Komisi tersebut mandat yang jelas, untuk menghadirkan
kebenaran akan pelanggaran HAM dan untuk merekomendasikan
langkah-langkah menyeluruh dalam memastikan reparasi bagi para korban.
Namun demikian, Amnesty Internasional
melihat masaih ada beberapa ketentuan di qanun ini ada di bawah batas
standar dan hukum internasional, karenanya harus diperkuat untuk
menjamin bahwa komisi kebenaran bekerja secara efektif. Di antaranya,
definisi pelanggaran HAM saat ini dibatasi hanya yang tertera di dalam
Undang-Undang No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan harus diperluas
secara tersurat mencakup pelanggaran semua hak asasi manusia yang
tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan hukum
perjajian HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia
(Pasal1.14).
Lebih jauh, definisi “pelanggaran HAM
yang berat” di dalam qanun tidak boleh terbatas pada kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, tetapi harus
mencakup kejahatan-kejahatan lain di bawah hukum internasional, seperti
penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa (Pasal
1.15). Juga harus diklarifikasi bahwa partisipasi para pelaku semua
kejahatan di bawah hukum internasional, dalam proses rekonsiliasi, tidak
bisa berujung pada amnesti di muka pengadilan nasional.
Selain itu, Qanun KKR Aceh juga tidak
merinci bahwa para anggota Komisi harus mencakup para individu yang
telah memiliki keahlian dalam hukum HAM dan humaniter internasional, dan
juga para individu yang memiliki pengalaman dalam menangani para
korban kejahatan-kejahatan serius, termasuk para korban yang traumatik,
para korban kejahatan seksual, dan para korban anak-anak. Lebih jauh,
“Amnesty International juga perihatin
bahwa persyaratan bahwa semua komisioner harus bisa membaca Al Quran
adalah bersifat diskriminatif, dan akan membatasi partisipasi, khususnya
para non-Muslim (Pasal 11.c)” tandas juru kampanye Anesty international
untuk wilayah Indonesia dan Timor Leste ini.
Amnesty International mencatat, konflik
Aceh antara gerakan bersenjata pro-kemerdekaan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dan pemerintah Indonesia berlangsung sejak 1976, dan memuncak
selama operasi militer dari 1989 hingga 2005. Konflik ini mengambil
korban jiwa penduduk sipil di sana, meninggalkan antara 10.000 dan
30.000 korban jiwa, banyak di antaranya penduduk sipil.
Sebuah laporan Amnesty International
yang diterbitkan pada April 2013 menemukan bahwa para korban dan mereka
yang terus bertahan dari pelanggaran HAM yang terjadi selama 29 tahun
kekerasan masih menunggu pemerintah untuk menghadirkan kebenaran atas
apa yang terjadi terhadap mereka dan terus menuntut keadilan dan
reparasi. Amnesty International dan kelompok-kelompok HAM lainnya telah
mendokumentasikan serangkaian kejahatan yang dilakukan oleh anggota
pasukan keamanan dan tenaga pendukung mereka terhadap penduduk sipil,
termasuk pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan –
kejahatan-kejahatan yang begitu saja dibiarkan tanpa penghukuman.
Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh GAM mencakup penyanderaan dan
pembunuhan bersasaran pada mereka yang dituduh memiliki hubungan dengan
pemerintah.
“Banyak dari pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh kedua pihak dalam konteks konflik bersenjata
non-internasional bisa merupakan kejahatan perang. Banyak dari
pelanggaran diarahkan oleh pasukan keamanan Indonesia dan tenaga
pendukungnya terhadap penduduk sipil merupakan bagian dari kebijakan
untuk menekan gerakan kemerdekaan terlihat merupakan bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik dan bisa merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan,” pungkasnya