JAKARTA- Sangat dramatis yang dikatakan Yusril Ihza Mahendra, saat memberikan kesaksian di depan Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai pelajaran bagi lembaga KPU, MK ditantang berani bertindak seperti di Thailand, membatalkan hasil pemilu, tuturnya.
Tokoh Partai Bulan Bintang, dan Pakar Hukum tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menantang Mahkamah Konstitusi (MK) RI berani bersikap seperti MK Thailand yang membatalkan Pemilu, karena masalah penghitungan suara.
Pernyataan tersebut disampaikan Yusril mengenai penggunaan pemilih yang menggunakan KTP yang terdaftar dalam daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb). Menurut Yusril, DPKTb tersebut tidak pernah disebutkan dalam undang-undang dan hanya mengacu kepada putusan MK. Peraturan tersebut sah karena tidak pernah dicabut KPU dan tidak pernah dibatalkan MK.
"Persoalannya kemudian apakah secara substansi peraturan itu, benar atau tidak, kita kembalikan kepada MK untuk menilai. Karena itu, saya menyatakan bahwa mestinya MK tidak mengadili Pemilu presiden hanya masalah hitung-hitungan angka, tapi jauh lebih dalam kepada legalitas pelaksanaan pemilu itu sendiri," ujar Yusril seuai memberikan pendapatnya dalam lanjutan sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden.
Menurut Yusril walau dia hadir di MK sebagai ahli dari Prabowo-Hatta, namun pendapat tersebut berdasarkan keahliannya menjelaskan dari segi konstitusi. Seandainya pun tidak diundang Prabowo-Hatta, lanjut Yusril, dia mengaku akan tetap maju sendiri. Atau jika pihak Jokowi-Jusuf Kalla yang mengundangnya memberikan pendapatnya di MK, Yusri mengatakan pendapatnya akan tetap sama. Selanjutnya, Yusril mengatakan seharusnya MK melihat lebih dalam persoalan secara substantif terkait dengan konstitusionalitas dan legalitas pelaksanaan Pilpres 2014.
”Apabila MK hanya mengadili masalah angka-angka saja, itu berarti MK tidak jauh berbeda dengan lembaga kalkulator,” kata Yusril saat menghadiri sidang ketujuh di gedung MK, Jumat (15/8/2014). Yusril Ihza Mahendra memberi contoh MK di Thailand sudah berani mengadili persoalan secara substantif dan fundamental berdasarkan asal pemilu jujur, adil, rahasia, dan langsung. Menurutnya, MK di Thailand pernah memutus perkara yang membatalkan pemilu dengan alasan cacat secara konstitusi.
“Nah, apakah MK di sini berani? Saya serahkan ke MK,” katanya. Mahkamah Konstitusi Thailand beberapa waktu lalu, memutuskan pemilihan umum yang digelar pada 2 Februari, sebaiknya ditunda. Dan, akhirnya MK menyerahkan keputusan ke tangan PM Yingluch Shinawatra dan komisi pemilihan umum. Sungguh, keputusan MK Thailand berdasarkan kehandalan profesi dan keadilan. Tanpa adanya intrik intrik politik,maupun unjuk kekuatan lembaga masing-masing yang merupakan keputusan adil dan benar secara hukum.
Keputusan MK Thailand yang menyerahkan teknis pelaksanaan dan kedaulatan kepada lembaga eksekutif adalah suatu keputusan yang egaliter dan sangat terpelajar. Hal itu, juga bisa dicermati dari kesiapan rakyat Thailand untuk mengikuti pemilu yang diselenggarakan pemerintah/eksekutif berdasar jajak pendapat yang menyatakan 80 persen bersedia melakukannya.
MK Thailand juga menjatuhkan vonis bersalah atas Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dalam kasus tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan demikian, MK memutuskan, PM Yingluck harus meletakkan jabatannya. Berbagai kalangan masyarakat berharap MK Jakarta tak kalah dengan MK Bangkok, dan sebagai peradilan sengketa pilpres tidak menjadi lembaga penghitung suara yang terjebak dengan perolehan angka yang dihasilkan pihak bersengketa.
Jika MK berani berani bertindak dengan prinsip-prinsip hukum, dan memutuskan dengan benar, maka ini akan menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Indonesia harus lebih baik dalam mengelola demokrasi, dan tidak membuka peluang terjadi pelanggaran konstitusi atau undang-undang, dan kemudian menjadi pelanggaran hak-hak dasar warga negara. Syarat Indonesia menjadi maju, jika semua prinsip keadilan berdasar atas hukum, dapat dilaksanakan dengan jujur, dan tidak memanipulasi dengan cara-cara yang tidak sehat.
Karena ini, hanyalah menjerumuskan Indonesia ke dalam kondisi yang lebih terpuruk. Sejak zaman Soeharto tidak pernah pemilu itu berlangsung dengan 'jurdil' (jujur dan adil). Pelanggaran terus berlangsung, sampai hari ini. Jika MK berani sampai tingkat membatalkan hasil pemilu, ini sebuah pelajaran yang sangat berharga, agar tidak main-main bagi penyeleggara pemilu, dan pemerintah. Karena kegagalan dalam pemilu, akibatnya hanya melahirkan pemimpin yang tak layak memimpin negara. Wallahu'alam.
*mashadi
voa-islam